Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Kulong itu Jernih


One Day at '80 in Bangka

Pulau Bangka, saya menjadi teringat pada masa silam. Ketika kolong masih jernih, dan kami bersuka memancing ikan atau bermain perang-perangan lumpur. Meski lahir di tahun 80-an, namun masa itu, tambang tak bisa ditemukan di mana-mana. Alhasil, alam masih menyimpan wujud nya yang alami. Air masih jernih mengalir, dari tumbik-tumbik di ujung atau tengah hutan. Pohon Gabus, masih menyimpan tawanya pada malam hari, wewangian khas bunga nya susah sekarang untuk ditemui.’

Pada bulan-bulan penghujan, langit menumpahkan airnya ke bumi. Dan aliran kolong menjadi keruh. Namun itu tak lama kadang tak lebih dari sehari, ketika langit mulai cerah, air yang meluap itu akan kembali jernih. Sebelumnya, beberapa orang telah memasang jaring atau tebak untuk menjebak ikan. Ikan seluang, ikan tanah, ikan baung itu akan terperangkap di tebak masih dalam keadaan hidup.

Gelombang air yang massif itu juga berkah bagi kami, anak kecil yang baru belajar berenang atau cuma ikut-ikutan meski tak bisa berenang. Gabus itu lah pelampung. Memanfaatkan aliran derasnya, mengapung sambil berenang bebas dari hulu ke hilir menjadi amat mengasikkan. Ketika ke hilir, akan bertemu induk kolong. Lalu bersusah-susah kembali ke Hulu. Begitu seterusnya.


Gabus yang kami naiki semacam kendaraan yang mesti dijaga, sebab kayu gelondongan yang kami tebang susah-susah itu bisa berpindah tangan karena dicuri anak lain. Semakin besar gabus, maka akan semakin beharga ia.

Hujan yang mengguyur desa, membuat sebagian kolong meluap, namun rumput dan tumbuhan air yang menjadi penghalang agar air tak bisa meluap ke segala arah. Ketika surut, aliran air akan membekas dalam rebahan rumput dan tumbuhan air yang berkelok-kelok.
Tak ada yang meringis ketika penghujan. Namun suka itu lah.

Ketika musim kemarau melanda, pada bulan-bulan agustus, menjelang dan mendekati puasa Ramadhan. Sungai kecil kami akan surut bahkan kering. Tinggal kolong diujung sana yang makin menipis. Namun ini juga berkah bagi kami.

Sebelum benar-benar kering pun, kami sudah mencari akar tuba. Tumbuhan ini ampuh sebagai racun alam bagi ikan-ikan di lubuk-lubuk. Ada sejumlah kolong sebagai tempat pavorit dalam menuba, kolong Mus atau kolong Kaffa. Kolong ini terkenal akan ikan-ikannya yang super besar, ada ikan gabus, kiung, kepuyu, ikan tanah, ikan kelik, belido, baung, ikan seluang. Yang paling khas rasa dagingnya adalah ikan Kiung. Rasanya khas dan special.

Tuba menjadi barang mahal ketika kemarau tiba. Saya masih mengingatnya, ketika perasaaan untuk Menuba itu muncul di ubun-ubun, pernah suatu ketika bersama teman kami nekad menggali tuba di halaman belakang rumah tetangga. Sampai diancam dengan parang. Saking nekadnya, kami mencari dan menggali tumbuhan yang dirasa-rasa mirip tuba itu. Digali, ditumbuk-tumbuk lalu dibaui. Bau tuba yang khas semacam narkotika. Menjadi sensasi tersendiri.

Kami anak kecil sekecil itu sebenarnya perusak alam juga, namun pada dasarnya tidak demikian. Kalau dipikir-pikir, Tuba tak masuk golongan unsur berbahaya kimia. Racunnya alami, Cuma bisa bikin pusing ikan-ikan. Lagian tak ada yang benar-benar mati.

Kemarau tiba adalah masanya bersuka-suka di kolong. Di sekitar desa Kenanga, ada beragam kolong yang menawarkan wahana bermain. Ketika sore menjelang, selepas bermain laying-layang di daratan pasir dan kenyang akan buah kerakmunting. Kami bergegas menceburkan diri ke kolong. Mau kolong mana, tinggal pilih saja, ada kolong Sa’I, kolong Mau, Kolong Temper, yang paling pavorit adalah kulong Temper.

Luas kolong yang lima kali lapangan bola itu, menjadi wahana berenang. Gerombolan anak-anak dari daerah seberang, atau kelompok lain akan beradu berenang dari ujung ke ujung. Beramai-ramai, menggunakan gabus atau jerigen air minum besar itu. Ramai, belum lagi masa bermain perang-perang kariamon atau tanah liat (tanah licek), air mendadak kotor dan keruh.

Inilah lalu mengundang kemarahan ibu-ibu yang asik mencuci di pinggiran. Ocehan mereka tetap saja tak mempan di telinga anak-anak. Hingga suatu ketika, ada yang berteriak, buaya atau buyut, makhluk halus penunggu kolong. Kalimatnya, “ Hoi buaye, buyut ni ade ayem !”. Bergegaslah gerombolan anak-anak secepat kilat berangkat dari kolong dan mulai membersihkan diri. Untuk bergegas pulang.

Masa-masa ini, banyak dari mereka yang akan sakit mata. Ketika bangun tidur, mata akan susah dibuka karena tertutup kotoran. Namun anehnya tak menyurutkan niat. Obatnya sederhana, katanya…ini katanya, diusap saja dengan air seni atau tai idung. Hee. Ada-ada saja.(aksansanjaya)

Posting Komentar untuk "Ketika Kulong itu Jernih"