Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Balada Whiteboard IV

Lalu kita dipertemukan dengan ocehan tamu,
Mengapa tak dibersihkan saja?, ini kotor, merusak pemandangan….
Entah mengapa setiap yang masuk, mereka saran sama,

“Hapus saja itu coretan!”,

Akan halnya si kribo, tak bergeming sedikit pun…
Coretan itu bagai status, ini identitas dari ruangan.
Semacam jendela pada dinding, dengan kaca dan lantai…
Termasuk pada coretan dengan ragam istilah dan kata

Takluknya hati karena segan
Sekaligus ini muara dari beda memandang

Kerapian diukur pada semakin sedikitnya perbedaan, kerapian adalah kesaamaan. Terlalu banyak yang menyilang dan menyeruak bisa merusak…

Engkau boleh menganggap ini gila, atau rada-rada….
Affandi bisa bernafas lega, sebab kekisruhan hatinya hanya mampu terwakilkan pada arah tangan yang tak jelas itu…
Lain pada Basuki, yang tetap pada realisme, atau Iwan Sumantha, pada naturalisnya.

Bukankah pertentangan itu, semacam itu yang bikin chairil Anwar meledak-ledak dengan puisi 1000 tahunnya, hal yang tak lazim pada HB Yassin,

Kekacauan semacam kebhinekaan yang tersisih, ada tapi tak diwakilkan
Jauh lagi, bukankah perbedaan adalah rahmat.

Kekacauan itu, bikin persepsi subyektif. Nah, lantas apakah subyektifitas juga harus berada pada minor area.

Pun diurai-urai via instrument bernama De sohisticis elenchis, Kita bisa menjadi Aristoteles, sang penilai siapa yang keliru berfikir?, haaaaaaaaaaaaaa----------

Posting Komentar untuk "Balada Whiteboard IV"