Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran Social Influencer dalam Komunikasi Politik bagi Generasi Millineal

 
social influencer


Disclaimer : artikel ini dibuat menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lalu. 

Menarik sekaligus mengejutkan apa yang ditulis Yascha Mounk dan Roberto Stefan Foa dalam The Journal of Democracy pada 2017 lalu, bahwa generasi Millineal kini makin skeptis terhadap demokrasi. Alih-alih mendukung demokrasi, mereka justru pendukung politisi yang membawa pesan politik populis dan cenderung otoritarian. Bahkan di Amerika, survey kedua peneliti dari Universitas Harvard tersebut menyimpulkan seperempat Millineal disana setuju bahwa memilih pemimpin melalui pemilihan umum tidak begitu penting dilakukan.

Lantas bagaimana dengan di Indonesia, seperti apa demokrasi dimaknai oleh generasi ini dalam trend digitalisasi yang makin massif namun seolah tak menyisakan diskursus demokrasi kekinian. Apakah generasi dimaksud punya kecenderungan sama dengan di AS, bahwa demokrasi tak lagi konsep politik yang ideal.


Survey sederhana pada sejumlah mahasiswa di Bangka, penulis asumsikan bahwa bagi Millineal, membicarakan tema politik laiknya pepatah “Seperti antah ditepi gantang, masuk tak genap keluar tak ganjil”, menunjukkan sesuatu yang kurang penting keberadaanya. Asumsi ini pun semakin terbukti jika dilihat pada tataran era digital. Isu-isu politik semacam demokrasi memang kurang familiar dibandingkan tema-tema seperti gaya hidup, game online, tutorial make-up atau cerita travelling ke obyek wisata baru.

Kontras dengan kenyataan jumlah pengguna Internet yang membesar, demokrasi sebagai isu politik 
cenderung kurang didekati oleh kaum yang lahir di rentang tahun 1980 s.d 2000 lalu. Padahal keterlibatan generasi ini dalam konsep pemerintahan sangat diperlukan untuk menciptakan iklim politik yang representatif. Data terbaru Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 70-80 juta jiwa pemilih Millineal dari 193 juta pemilih dan mereka berpengaruh di kisaran 35%-40% terhadap hasil Pemilihan Umum (Pemilu) nanti. Target KPU pun jelas partisipasi pemilih di angka 77,5 persen di tahun ini.

Disinilah titik krusialnya, bagaimana generasi Millineal bangsa ini punya kesadaran alamiah bahwa isu demokrasi adalah penting bagi masa depan mereka khususnya keterlibatan mereka dalam Pemilu pada 17 April nanti.

Dari hasil analisa, penulis mencatat ada sejumlah poin bagaimana Millineal memandang demokrasi di Indonesia terutama jika ditinjau dari perspektif dunia digital masa kini.

Poin yang pertama adalah perbincangan pesan-pesan politik bagi Millineal seringkali dipandang sebagai hal berat (serius). Hal ini bertolak belakang dengan konsep pemanfaatan internet yang cenderung bersifat informal dan ringan.

Hal diatas dimungkinkan karena karakter generasi itu sendiri. Badan Pusat Statistik (2017) menyimpulkan karakter utama Millenial adalah tingginya penggunaan perangkat komunikasi dan teknologi digital terkini. Karakter ini kemudian menyatu dengan media sosial yang berformat egaliter, individual dan independen. Lahirlah kemudian generasi berkarakter dinamis, ingin serba cepat, open minded, kritis, dan tentu saja loyalis utama media sosial.

Tak mengherankan bila survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2017 lalu menyebutkan internet lebih sering dipergunakan sebagai sarana untuk chatting, bermedia sosial dan sebagai mesin pencarian untuk beragam informasi. APJII juga mengungkapkan generasi Millineal lebih suka mengakses isu-isu lingkungan dan informasi seputar agama dibanding isu-isu politik.

Poin yang kedua, konon generasi Millineal memandang isu-isu politik terutama demokrasi sebagai sesuatu yang membingungkan karena terlalu banyaknya (overload) pesan yang mereka terima. Dalam interaksi media sosial, mereka menganggap demokrasi sebagai kompetisi kubu A dengan kubu B, bentuk aktifitasnya berupa penyebaran meme, sharing tulisan tokoh politik, tweet kekecewaan kejadian politik, penyebaran video montase bertendensi kritik tajam, atau sharing pesan hoax.

Karakter media sosial yang egaliter dan personal pada akhirnya menyebabkan macam ragam informasi antara hoax dan fakta tumpah ruah di jagad dunia maya. Akibatnya para pengguna Millenial dijejali beragam informasi dan makna lalu terjebak dalam kebingungan informasi. Yang terjadi kemudian Millineal pasang aksi menolak (rejection) pada tema-tema sejenis. Wajar bila isu politik makin terpinggirkan dan kurang diminati. Terlebih pada musim politik masa kini dimana tensi makin tinggi dan frontal.

Poin ketiga penulis adalah demokrasi kadang dipandang sebagai upaya melahirkan kembali laku koruptif tak berkesudahan. Millineal kerap mengasosiakan hal ini dengan prilaku korupsi oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat.

Betapa tidak, survey Transparency International Indonesia (TII) dua tahun lalu menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Fakta dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa sedari tahun 2004 hingga 2013, ada 74 anggota DPR tersangkut kasus korupsi, 2.545
anggota DPRD Provinsi dan 431 anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut praktik serupa. Kenyataan diatas seolah menusuk kepercayaan generasi Millineal yang memang menjadi pemilih pemula pada rentang masa itu.

Poin keempat, penulis berpendapat bisa jadi demokrasi kini dipandang tidak terlalu istimewa dimata generasi Millineal. Mereka makin terbuka terhadap opsi-opsi model pemerintahan selain demokrasi. Perubahan sikap ini bisa dikaitkan dengan sejumlah trend kejadian politik tahun belakangan seperti di Austria, Jerman, Perancis di tahun 2017, dimana politisi-politisi beraliran populis, konservatif sayap kanan atau kiri seperti mendapat tempat dihati generasi Millineal disana.

Bahkan di Asia pun begitu, Kemenangan politisi di Jepang, China, India dan Philipine sukses membawa pesan sosialis konservatif, keunggulan etnis mayoritas, dan kebijakan satu negara yang nyatanya didukung oleh kaum muda bukan kaum tua selama ini. Bahkan Donald Trump, presiden ke 45 AS berhasil menapaki White House dengan tema kampanye populis dan anti imigran seperti diatas.
Boleh jadi trend itu kini menjalar ke Indonesia dimana Millineal hidup pada masa damai dan stabilitas politik yang kuat. Sehingga ketiadaan pengalaman tragis membuat generasi Millineal tak punya preferensi ideologi politik yang ketat cenderung cair.

Lantas bagaimana upaya konkrit dapat dilakukan agar pandangan generasi Millineal diatas dapat dirubah dalam partisipasi politik nyata sesuai karakter demokrasi itu sendiri. Penulis berpendapat saatnya melibatkan Social Influencer sebagai antibodi tercepat menggerakkan motivasi para Millineal terutama menuju 17 April mendatang.

Peran Social influencer di tengah Apatisme Millineal

Faktor kedekatan generasi Millineal dengan teknologi komunikasi adalah celah yang dapat dimanfaatkan untuk mendekati generasi harapan bangsa ini. Perlu dicatat bahwa pada tahun 2020 s.d 2030, Indonesia akan mengalami bonus demografi dimana jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) akan mencapai 70 persen.

Selain itu, Millineal ditandai dengan muda, terdidik dan sebagian besar hidup di perkotaan dengan mendominasi 49,52% total pengguna internet Indonesia berdasarkan survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2017 lalu.

Maka dirasa sangat mendesak dan sangat penting pendekatan ala media sosial jadi pilihan utama guna merengkuh hati generasi ini. Ada sejumlah alasan mengapa social influencer menjadi elemen penting dalam upaya mendefinisikan demokrasi bagi Millineal.

Untuk diketahui, social influencer adalah untuk penyebutan seseorang yang menciptakan konten dan memberi pengaruh yang besar bagi ribuan hingga jutaan follower atau subsciber mereka di media sosial. Indonesia memiliki Youtuber semisal Atta Halilintar dan Ria Ricis dengan subscriber belasan juta itu. Atau Permadi Arya pemilik fanpage Abu Janda dengan follower ratusan ribu itu. Ada lagi Denny Siregar yang dikenal di jagad Twitter dengan twit-twit bernasnya, selain Agnes Monica dan Awkarin yang familiar di Instagram dengan jutaan follower. Social influencer adalah mereka yang memiliki pengikut diatas 1000 orang dan bisa siapa saja.

Atas dasar itulah, penulis yakin social influencer dapat lebih mudah dalam menyalurkan pesan-pesan politik kepada pengikut mereka. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media digital oleh tim social influencer kampanye Obama ternyata menentukan kemenangan dirinya atas Mitt Romnney di pilpres AS pada 2012 lalu.

Seorang social influencer pasti memiliki cara dan metode khas dalam menyalurkan pesan-pesan politis melalui pola komunikasi yang pas dengan frame of experience pengikut mereka. Pesan demokratis ala mereka bisa dikemas dengan konsep yang unik, informal dan attraktif khas ala Millineal.

Sehingga nantinya, pesan-pesan politis terutama nilai-nilai demokrasi kekinian bisa saja mendapatkan peluang lebih untuk di sharing atau di retweet oleh ratusan ribu pengikut mereka. Persepsi generasi Millineal terhadap sebuah isu demokrasi akan cair, tak kaku serta kompatibel dengan perkembangan masa kini.

Alasan selanjutnya, social influencer dapat bertindak sebagai trigger memulai perbincangan baru terhadap isu-isu politik terutama demokrasi. Penulis yakin bahwa generasi Millineal tak benar-benar menjauhi politik sebab studi menunjukkan mereka sebenarnya peduli terhadap isu politik. Penelitian oleh EACEA di 2013 menyimpulkan bahwa generasi muda dapat menunjukkan preferensi dan minat yang lebih terhadap isu-isu politik dibanding generasi tua.

Yang berbeda adalah cara mengekpresikan suara politik tersebut, jika dulu partisipasi politik dilakukan dengan berdemonstrasi, atau mogok kerja, kini ekspresi politik disampaikan ke internet atau media sosial. Sehingga karakter aksi politik Millineal lebih individual, spontan dan berdasarkan trend yang berkembang.

Disinilah kemudian, seorang social influencer memainkan peranannya dalam memancing sebuah percakapan sosial di jagad maya. Ia bertanggung jawab memantik perbincangan tentang demokrasi yang positif dan dinamis tanpa perlu merasa bingung akan kelebihan atau kebingungan informasi. Aksi ini pada konkretnya dapat dilihat pada penggunaan tagar atau hastag, untuk menciptakan trending topic sehingga aspirasi demokrasi dapat didiskusikan bersama.

Alasan terakhir, social influencer bisa juga menggerakan Millineal untuk berpartisipasi langsung dalam laku demokrasi misalnya ikut mencoblos. Social influencer bekerja ala marketing yang mampu memberikan pesan kuat kepada followernya. Katanya ucapan dari seseorang yang kita ikuti adalah persuasi yang terkuat. Sebagai contoh, pada pemilu 2012 lalu di AS, 30 persen pengguna online mengaku mau memilih setelah di dekati oleh social influencer. Kini pun, anda bisa menemukan betapa mudahnya seorang selebritis di AS berkampanye kepada pengikutnya untuk ikut memilih, jangan golput.

Harapan besar layak dibebankan pada social influncer, sebab mereka penghubung personal antara politisi dengan Millineal dalam latar era digital masa kini. Selayaknya demokrasi dapat diterima sebagai isu familiar sama halnya nge-game online, atau icip-icip menu baru di sebuah resto yang baru buka.

Khusus di Indonesia, mungkin ide lain diluar demokrasi tak begitu menggema liar. Sebab argumen Yascha dan Roberto tentang keterbukaan Millineal terhadap ide selain demokrasi mungkin menandakan ketiadaan pengalaman hidup di bawah atau berperang melawan rezim authoritarian seperti fasisme atau komunisme. Argumen dimaksud mungkin tak berlaku untuk Indonesia yang ikatan nasionalisme cukup kuat karena kesamaan akar histori yang panjang.

Sebagai penutup, penulis berharap pemerintah atau stakeholder di Republik ini saatnya tanpa ragu merangkul para influencer ini. Tentu dibarengi dengan prinsip pintar memilih dan memilah influencer yang mau membantu dalam bingkai kebhinekaan dan nilai-nilai Pancasila. Pada akhirnya, diperlukan kerja-kerja cerdas agar social influencer mampu memainkan peranannya secara maksimal sehingga harapan Millineal akan demokrasi yang positif dan kekinian serta terbuka akan diskusi konstruktif tetap hidup, tanpa pernah berfikir untuk berpaling pada pilihan yang lain. ***

Posting Komentar untuk "Peran Social Influencer dalam Komunikasi Politik bagi Generasi Millineal"