Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Alasan Perlunya Selamatkan Teluk Kelabat, Pantai Penyusuk dan Matras

Pulau Lampu Pantai Penyusuk



Saya mengingat Teluk Kelabat dan Pantai Penyusuk sebagai dua tempat yang indah rupawan, terjaga keasliannya, dan potensial sumber daya alamnya. Teluk Kelabat saya ketahui dari buku yang dibaca pada masa kecil sebagai ladang protein laut yang melimpah. Tahunan kemudian, Saya mengingatnya ketika menikmati udang satang dan ketam pada suatu sore di rumah penilik PNS di kecamatan Kelapa. Kata tuan rumah, udang dan ketam itu didapatkan dari daerah Pusuk. Pada suatu waktu setelahnya, saya juga mengingat momen itu ketika beramai dengan mahasiswa Universitas Terbuka Pokjar Jebus menikmati udang, ketam dan ikan bakar pada sebuah warung makan tepi pantai di pelabuhan Bakik, Jebus Bangka Barat. Bagian paling enaknya adalah ketika menikmati siput Gonggong itu. Ia digoreng dan dikemas dalam plastik ala home industri dan dijual di warung itu. Kelezatannya masih dirasa hingga kini.

Saya juga mengingat memori itu ketika bersenda gurau dengan kolega pada sebuah sore di kawasan wisata Bantu Dinding Kecamatan Belinyu, Bangka Induk. Berdiri pada perbukitan itu, kita akan leluasa melihat pelabuhan nelayan Batu Dinding. Saya pikir pasti ada ratusan nelayan dari dua kabupaten, yakni Bangka Induk dan Bangka Barat yang menggantungkan hidupnya dari menangkap hasil laut di Teluk Kelabat. Bahkan, sudah awam diketahui, banyak wisatawan lokal yang bertandang ke Pulau Nanas, yang terletak di teluk ini.

"Adapun Pantai Penyusuk, saya telah kesekian kalinya bertandang ke pantai ini. Saya tak ada rasa jenuh mendatangi pantai ini. Sebab, ini pantai sangat indah rupawan. Selain kontur pantainya yang berpasir putih, dipenuhi bebatuan ragam bentuk serta berbentuk tanjung itu, ia dilengkapi dengan tiga pulau yang sangat indah. Ada pulau Lampu sebagai pulau terbesar dimana ada mercu suar aktif, lalu ada pulau Putri yang dipenuhi bebatuan dan “Beting” yang kerap berubah. Lalu ada Mentigi, pulau yang juga menawarkan keeksotikan tersendiri. Ketiganya berdekatan dan bisa ditempuh dari pantai Penyusuk dalam kisaran 30 menit."

Bukan hanya pulau saja, ada terumbu karang yang tersebar di kawasan pantai dan pulaunya. Meskipun saya belum pernah menyelam dan melihat keindahan bawah lautnya, namun saya yakin terumbu karang disini pasti indah. Jadi, bayangkan kelengkapan kawasan wisata ini. Lalu bayangkanlah, ketika lapar menerpa, ada menu otak-otak khas Belinyu dan Kemplang sebagai bahan santap. Sambil menikmati matahari terbenam (Sunset), pengalaman bertandang ke kawasan ini menjadi momen mahal dan tak lekang dimakan zaman. Tak heran, makin banyak wisatawan lokal dan nasional mendatangi kawasan ini. Ada potensi wisata yang besar dari Pantai Penyusuk seperti terlihat dari foto-foto berikut ini.

Namun cerita ini bisa jadi tinggal kenangan masa silam saja. Ketika Kapal Isap Produksi (KIP) mulai ramai-ramai berniat mengeksplorasi kedua kawasan itu, impian indah dan kenangan manis diatas bakal menjadi mimpi buruk dalam waktu dekat. Ada puluhan KIP yang tiada hentinya menguras timah dari pantai-pantai di Kabupaten Bangka. Seakan tiada kenal berhenti, mesin itu semakin gila melabrak apapun selama timah masih dikandung. Yayasan Sayang Babel mencatat ada banyak kerugian dari muncul KIP yang tak ramah lingkungan. Tak peduli terumbu karang, habitat udang dan ketam, rumah tinggalnya ikan, semuanya dihancurkan demi sebuah nama “INVESTASI”.

TAMENG INVESTASI SEMU


Investasi seolah menjadi kata mujarab untuk melabrak kearifan lokal. Terlalu banyak kita (pemerintah) berkorban untuk sesuatu yang tak jelas untuk ruginya. Masyarakat dipaksa menerima konsep investasi sebagai perubahan yang lebih baik dan modern. Tak sadarkah kita, lahan petani lokal semakin sedikit karena kalah saing oleh perkebunan sawit besar. Jika demi sebuah investasi, mengapa cuma beberapa gelintir masyarakat yang diterima bekerja di perusahan-perusahan sawit itu. Termasuk juga yang bekerja pada KIP itu, cuma beberapa pekerja dari masyarakat sekitar. Lantas kemana larinya trilyunan rupiah timah itu?. Jika dana itu berputar barang sejenak pada sebuah rantai produksi, bisa diyakinkan manfaat keberadaan KIP dan aneka jenis tambang lainnya serta Perkebunan sawit itu.

Masyarakat Bangka dihimpit Perkebunan sawit, sehingga hilang dan semakin tergusur lahan pertanian. Tak cukup menderita, lahan yang seupil itu juga diobrak abrik oleh pertambangan timah darat. Petani lada berada di antara perkebunan sawit dan pertambangan timah. Ibaratnya, keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Jika anda perhatikan dari google earth, semakin jelas lah jejak pergumulan itu, hutan homogen atau lobang-lobang menganga pada kontur pulau Bangka dan Belitung.

"Jika demi sebuah Investasi, kenapa kita (pemerintah) tak berkoar-koar agar pabrik solder dan aneka turunan timah itu dibangun di Bangka Belitung. Atau, presentasi habis-habisan agar pemilik perkebunan sawit membuat pabrik minyak goreng atau aneka produk kelapa sawit itu di sini. Bukankah dengan demikian, kita benar-benar melaksanakan konsep investasi bagi masyarakat Bangka Belitung."

Jangan bicara pembangunan, ketika masyarakat cuma bekerja sebagai penebas rumput dan penyemprot sawit untuk jangka waktu dua atau tiga tahun, lalu selepas itu berhenti massal. Atau jangan bangga-banggakan, masyarakat yang sukses kredit motor dari hasil pikul timah dari KIP. Sejatinya mereka adalah pekerja temporar, dan bagian terkecil dari perputaran uang itu. Dana trilyunan itu menguap begitu saja ke tuan-tuan saudagar yang tak jelas nomor rumahnya itu.

Dan cukong-cukong, serta makelar akan tetap ada, dengan beragam jurus membius masyarakat agar bodoh dan percaya bahwa “mereka” datang membawa sejahtera. Sampai kini masih ada, seperti musang berbulu domba itu. Sekali wayang tetaplah wayang, anda tak akan jadi dalang. Jangan bicara demi rakyat, jika perut anda masih disuapi bubur manis sang majikan.

Salah Satu Banner Save Penyusuk 
Saya percaya masyarakat tak lagi bodoh. Ini eranya digital, semua orang punya akses pada ilmu pengetahun dan informasi. Beberapa waktu yang lalu, orang ramai tolak Kapal Isap yang akan masuk ke perairan Penyusuk. Banner nya viral kemana-mana dan dishare ribuan orang. Netizen berjuang lewat dunia maya dan difinalisasi lewat karya jurnalistik kawan-kawan media massa cetak. Jadilah ia kampanye yang powerfull. Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka lewat Bupati urun komentar dan turun ke lapangan meninjau kawasan Penyusuk. Orang-orang penting juga bersuara akan perlunya SAVE PENYUSUK. Untuk sesaat ia reda, dan KIP agak menjauh.


KIP tak gentar juga, bermodal izin pertambangan yang katanya di lindungi UU Pertambangan, sejumlah pemilik KIP mulai merangsek masuk ke teluk Kelabat. Masyarakat tak terima dan beberapa waktu lalu, demo ratusan nelayan membuat Gubernur Bangka Belitung pasang komitmen untuk menolak keberadaan KIP. Ormas Pemuda seperti KNPI dan WALHI jelas-jelas menolak keberadaan KIP di teluk Kelabat. Kini, wacana itu masih memanas seiring adanya demo tandingan menerima KIP untuk menambang.   

"Sampai kapankah kita berhenti untuk serakah. Beranikah kita membiarkan satu atau dua kesempatan bagi lingkungan untuk bernafas apa adanya. Selama kurang lebih 15 tahun kita menjadi provinsi, semakin tak jelas mau kemana kita berprovinsi."

Salah satu e Banner dari Walhi Babel
Kalau mau menggalakkan industri berbasis timah, jangan tanggung-tanggung. Sekalian bangun pabriknya dan aneka turunan nya. Sekalian juga bangun pabrik minyak dan turunannya. Kalau mau pariwisata, fokus juga ke pariwisata dibanding pertambangan atau pertanian.

CARUT MARUT RTRW & AMDAL


Carut marutnya kondisi pertambangan versus kearifan lokal ini salah satunya disebabkan penentuan RTRW Bangka Belitung yang berlarut-larut hingga tak jelas kapan jadinya. Banyak nya “masukan” dari elemen masyarakat dan debat berkepanjangan semakin memperlihatkan ada “sesuatu” pada penetuan blue print pengelolaan wilayah darat. Itu untuk wilayah darat, adapun laut tak jelas juga keberadaannya. Sehingga ketika KIP itu masuk ke Teluk Kelabat bisa jadi berdalih sudah ada izin tanpa harus berdebat apakah wilayah ini wilayah tangkapan ikan atau pertambangan. Bahkan ada yang menyebut penentuan RTRW Bangka Belitung sudah “kembung”. Untuk menggambarkan adanya infiltrasi pihak-pihak yang berkepentingan.

Yang kedua adalah, keluasaan raja-raja kecil di provinsi. Dasarnya adalah PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT. Dengan peraturan ini gubernur punya hak preogratif memberikan izin tambang bagi siapun pun yang dikendaki pada jarak 12 mil laut. Sebagaimana awam diketahui, puluhan KIP dimaksud sudah mengantongi izin dari kepala daerah setingkat Gubernur, sehingga mereka tuan pemilik modal punya payung hukum untuk ekplorasi kekayaan alam asal berbadan hukum sah. Yang terjadi adalah, penerbitan izin ini tidak dibarengi dengan fungsi pengawasan terhadap izin dimaksud. Alhasil, rusaknya habitat alam dan hancurnya kearifan lokal. Pada sisi ini saja, masyarakat dapat menuntut keadilan.
Posisi Strategis Teluk Kelabat

Berikutnya adalah, lemahnya AMDAL, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang dibuat oleh sejumlah KIP di laut Bangka Belitung. Bahkan dicurigai sejumlah AMDAL dibuat dengan duplikasi dari dokumen AMDAL KIP lainnya dengan perubahan secukupnya. Bisa dibayangkan dokumen ilmiah dibuat dengan cara duplikasi tanpa prosedur ilmiah, yang terjadi adalah asal jadi dan abal-abal. Tak mengherankan rasanya bila makin lama, laut kita makin terabaikan. Belum pula ketika pengawasan terhadap pelaksanaan AMDAL oleh pemerintah daerah lemah dan terkesan kurang biaya. Bisa ditebak, semuanya berjalan semau gue. Jangan tanya bila kemudian, program rehabilitasi dalam AMDAL semacam pepesan kosong belaka.

Ketika tulisan ini dibuat, penulis berusaha menghubungi salah satu tim perumus RTRW Provinsi Bangka Belitung untuk mengetahui apakah telah selesai dibuat. Sebab sejak 2008 hingga kini, perumusannya molor dan terkesan dibiarkan. Sebab dari situlah kampanya SAVE PENYUSUK dan SAVE TELUK KELABAT punya kekuatan untuk dimajukan dalam semua lini. Jikapun tidak dimasukkan, patutlah diduga bahwa ada penghilangan fakta bahwa teluk Kelabat adalah kawasan pertambangan laut bukan perikanan. Padahal, sudah awam diketahui turun temurun bahwa Teluk Kelabat adalah kawasan tangkap Ikan.

Kiranya kita perlu belajar dan mencari referensi untuk menyatakan bahwa teluk Kelabat seyogyanya dijadikan kawasan berbasis perikanan. Seperti ditemukan pada Disertasi karya DR. Rofiko, yang berjudul, “Analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir teluk kelabat kawasan utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung,” beliau merekomendasikan kawasan Teluk Kelabat untuk dikelola sebagai kawasan industri perikanan terpadu. Disertasi itu dibuat sejak tahun 2005 lalu. Sebelum RTRW Bangka Belitung dirumuskan. Kita menyayangkan ada begitu banyak penelitian yang menekankan perlunya memperhatikan keseimbangan alam dan kearifan lokal dalam setiap pembangunan. Namun, semuanya tampak seperti artikel tak berguna.

Terakhir, tiada cara lain untuk katakan TIDAK PADA KIP yang akan mengeksplorasi Teluk Kelabat, Pantai Penyusuk serta Pantai Matras. Sudah cukup keserakahan bertameng investasi semu dan janji manis pembangunan pro job didengungkan. Masyarakat sudah muak dan bosan. Masyarakat pun semakin pintar dan cerdas. Pemerintah pun dituntut untuk cerdas pula. Cobalah belajar dari Pemerintah Kota Bandung atau Bantaeng. Saya pikir pemerintahan berbasis penelitian sangat paten. Hal ini terbukti dari sepak terjang Ridwan Kamil yang menerapkan konsep pembangunan berbasis keilmuan bukan janji-janji politik dan hutang budi.***