Joged-joged Valentine Day dan Seks Bebas di Amerika
Valentine Day sebagai hari kasih sayang yang katanya sedunia
itu tak menjadi momen istimewa bagi saya. Ia adalah sesuatu yang asing dan
menjijikan. Prilaku yang akan menjerumukan pada perzinahan. Begitulah pikiran
saya, setidaknya beberapa jam yang lalu. Tadi, saya baru saja menghadiri
Valentine Day di kampus, dan saya tak menemukan pria dan lelaki melakukan
perzinahan bebas. Ada apa ini, bukankah Valentine Day itu dosa.
Jujur saja, saya tak pernah merayakannya dan tak berniat
untuk memikirkannya. Saya ingat selama lima tahun menjadi penyiar, saya tak
pernah mengembar-gemborkan hari besar pasangan itu. Ketika teman-teman penyiar
menyebut-nyebut selama jam siarannya dan sms request lagunya disertai selamat
hari valentine itu, saya kebalikannya, sengaja mendiamkannya. Begitulah, hingga
kini, saya tak akrab dengan konsep hari berkasih sayang itu.
Saat itu saya berfikir ia adalah ajaran agama tertentu.
Sebagai penganut agama Islam, tak dikenal konsep itu. Pacaran pun tak dikenal
sama sekali. Konsep pacaran malah dibalikan, pacaran setelah menikah. Disahkan
dulu statusnya, setelah itu mulailah pacaran. Mau sejauh apapun tindak tanduk
anda, tak ada orang yang akan berkeluh kesah dan gusar. Begitulah, saya sedari
ABG sudah disodori indroktinasi bahwa Valentine Day itu menyesatkan_kalau bisa
diharamkan.
Dalam indroktinasi itu, saya disuguhi cerita-cerita penodaan
atas kemurnian cinta. Cinta murni dinodai dengan prilaku seks bebas. Hari itu,
adalah hari kasih sayang, dimana pasangan boleh melampiaskan kecintaannya dalam
bentuk terjauh, hubungan suami istri. Lantas, saya pun membaca bahwa hari itu
adalah misi dari agama tertentu untuk menghancurkan generasi Islam masa depan.
Saya ketika SMP itu merinding dan meradang, bahwa begitu berbahayanya konsep
hari kasih sayang ini.
Namun, ketika saya menghadiri undangan Valentine Day yang
diadakan oleh International Office dari Arkansas Tech, kampus saya kuliah tak
saya temukan prilaku itu. Saya hanya menemukan makanan dan minuman lezat dan
non alcohol. Ada strawberry segar dalam nampan, bisa diambil sepuasnya.
Strawberry itu lalu dibalur dengan coklat yang mengalir dari fountain khusus.
Tinggal tusuk dengan batangan kayu terserah seberapa banyak coklat mau
dibalurkan.
Saya juga menyaksikan lagu-lagu pop yang diputar lewat komputer
itu. Lagunya lagu anak muda disini, RnB, terkadang ada pula lagu India, Nepal
dan China. Maklum, pesertanya adalah mahasiswa Internasional yang kuliah di
Tech. Lampunya redup dengan permainan lampu-lampu disko, yang memancar lantar
menyinari satu dua grup yang berjoged atau ngedance sekenanya. Ada juga grup
mahasiswa kulit hitam yang lebih pintar ngedance. Kalau mahasiswa dari Nepal,
maklum mereka lebih banyak, mereka melingkar dan berjoged yang serupa tak sama
dengan jogged India. Saya tak menemukan prilaku perzinahan disini. Saya tak
menemukan mahasiswa yang berciuman bahkan berpelukan_apalagi mengumbar-umbar
nafsu seksual itu.
Selain mahasiswa internasional dan kulit hitam ada juga
mahasiswa kulit putih. Mereka juga hadir dan berjoged. Ada juga yang sibuk
membuat topeng. Menyapa mahasiswa yang masuk, ini advisor kita jadi dia sibuk
kesana kemari menyapa mahasiswa internasional. Eh, saya juga tak mendengar dan
menyaksikan pesan-pesan agama di kegiatan ini.
Acara dua jam itu diisi dengan jogged sekenanya saja. Tak
ada pelukan dan berhimpitan, maklum space hall nya luas dan renggang. Saya yang
duduk mengamati kadang merasa tertawa sendiri. Saya tak jogged. Bukan anti,
namun karena ada hambatan psikologis saja, saya pikir saya lebih tua sendiri
maklum, yang aksi ditengah itu rata-rata mahasiswa undergrad dan masih
duapuluhan. Lah ini saya, sudah kepala tiga masak jingkrak-jingkrak. Jadi saya
cukup duduk dan melahap hidangan saja. Sembari memikirkan orang di rumah
terutama dua bidadari saya itu.
Yah, saya merasa ada keterkaitan sebenarnya dengan Valentine
Day ini. Keterkaitan itu dengan bidadari saya yang kini sudah mulai beranjak
tumbuh. Keterkaitan yang tak perlu sebenarnya. Namun, ketika media nasional
kita ramai membicarakannya, tetap saja saya menjadi ingat cerita mereka berdua.
Dua bidadari saya itu dilahirkan melalui proses cesar pas
setahun lalu. Namun, hari lahir mereka tidaklah bertepatan dengan Valentine Day
ini, mereka berdua lahir keesokan harinya, 15 Februari. Saya ingat setahun yang
lalu, ketika istri mengandung anak kembar, ditentukanlah waktunya melahirkan.
Dokter menyarankan pertengahan Februari itu, pada 14 Februari itu. Namun, saya
lebih memilih keesokan harinya. Saya tak mau hari lahir anak saya dihubungkan
dengan Valentine Day. Kesannya tak elok dan asing. Saya tak mau, hari lahir
mereka menjadi pengingat sekaligus penarik orang-orang lain untuk merayakannya
dalam nuansa valentine itu.
Peristiwa hari ini dan hari lahir bidadari saya itu
mempertemukan cerita yang sama. Bagaimana memaknai konsep Valentine Day itu.
Bagi saya pribadi, Valentine Day tetaplah konsep yang asing dan tak sepatutnya
digembar gemborkan menjadi sebuah hari yang istimewa.
Peristiwa kehadiran saya hari ini, membuat mata saya
terbuka. Hari Valentine tidaklah seperti bayangan saya sebelumnya. Ia bukan hari
untuk melakukan prilaku seks bebas. Saya berfikir sebuah perayaan tetaplah
sebuah perayaan dengan aneka ornamennya itu. Tanah tempat saya kuliah ini
jantungnya liberal dan kapitalisme. Kebebasan individu dijunjung tinggi asal
menghargai hak orang lain.
Memang ada pesan kasih sayang lewat bunga dan coklat, tapi
tak lantas menjadi lisensi untuk nge_sek. Yang diberi bunga, cukup
berterimakasih saja. Kalau mereka berhubungan intim itu karena mereka memang
pacaran. Pacaran dalam konsep Amerika menjunjung kebebasan. Jadi jika mereka
ingin nge_sek tak harus nunggu Valentine. Tak ada hubungannya antara valentine
dengan waktu dibenarkannya ngesek.
Lantas apakah saya membenarkan perayaan ini di tanah lahir
saya. Tentu saja, jawaban saya tidak. Seperti saya ungkapkan, Valentine day
tetaplah sebuah perayaan yang asing dalam konsep budaya Indonesia. Kita belum
berbicara mengenai aneka ragam budaya dan adat yang ada di tiap-tiap daerah di
Indonesia. Akan ada variasi derajat penolakan atau pemaknaannya.
Bagi saya orang Bangka, kami tak kenal itu konsep berkasih
sayang. Sebab, bagi saya orang Melayu, kasih sayang cukup dibuktikan. Ada
pantun dan sajak untuk membuai sang pujaan hati. Namun, tak lebay dengan duduk
berdua sambil berpegangan tangan dalam lampu remang-remang apalagi joget-joget
sekenanya. Kasih sayang mestilah tiap hari dan konsisten. Melayu kebanyakan
Islam, jadi janganlah heran jika padanan adab tak lepas dari nilai-nilai qur’ani.
Simpulannya, jujur saja saya tak menemukan keunikan dan
kemanfaatan dari perayaan ini. Saya berfikir dibandingkan dengan perayaan yang
kita punya, Valentine Day tak ada apa-apanya. Saya yakin tiap daerah punya
kekuatan masing-masing. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya,
begitu kata pepatah. Saya merasa, Indonesia adalah negeri yang sangat kaya
dengan budaya dan adat istiadatnya. Namun, kita seringkali merasa tak nyaman
dengan budaya sendiri.
Bagi kita orang Bangka, ada adat sedekah kampong, semacam
Ruah, Muharram, Rebo Kassan, Perang Ketupat yang bisa menjadi area pertemuan.
Manfaatkanlah hari-hari itu untuk berjumpa dan menunjukkan pribadi anda yang
menyenangkan kepada lawan jenis anda. Berjumpa dengan orang tuanya dan keluarga
besarnya. Beramai-ramai mengunjungi sanak saudara dan memperat silahturahmi.
Perayaan semacam ini, efeknya menjadi lebih besar dibandingkan kisah dua pemudi
yang mabuk kasmaran dan tak jelas juntrungannya.
Tentu saja setiap orang boleh berpandangan lain, namun jika
anda berfikir bahwa merayakan valentine day identik dengan modernitas dan
kemajuan, anda jelas salah melangkah. Valentine Day tetaplah perayaan sama
halnya hari-hari besar lain, dan ini milik budaya negara lain. Pilihannya, anda
bangga dengan budaya anda atau bangga dengan budaya orang lain itu saja.
Posting Komentar untuk "Joged-joged Valentine Day dan Seks Bebas di Amerika "