How to Live at Lawrence in Kansas
Ketika saya menulis cerita ini, saya sedang berada di Lawrence Kansas City, US. Sebuah tempat yang sangat jauh, sekitar 15000 km jauhnya dari Indonesia. Sebuah kota kecil yang indah, dimana Kansas University berada. Sejak 1 Juli lalu saya menginjakkan kaki ke negeri Paman SAM ini, terhitung sudah enam hari saya disini.
Yah,
Lawrence tak pernah saya dengar sebelumnya, adalah sebuah kota
pendidikan, dimana sepertiga penduduknya adalah mahasiswa dari 80 ribuan
total penduduknya. Kota kecil namun daerah midwest ini menawarkan rasa
Amerika yang asli. Rumah-rumah dan tamannya memberikan flashback tentang
film-film Koboi yang saya tonton dahulu. Belum lagi, hektar_an kebun
jagung dan kentang terhampar luas disisi kiri kanan jalan, menegaskan
lagi suasana ala barat yang liar yang kental kuda dan pistol serta
topinya.
Kansas Union tempat orientasi mahasiswa di KU |
Sekilas,
saya membayangkan akan ada pertempuran jarak pendek, antara buronan
kelas berat dan si Sherrif lengkap dengan rekaman irama langkahan itu,
lantas mereka berbalik saling menghadap dan revolvers itu menyalak
keras, salah seorang akan terjatuh di tanah berlumpur. Kilasan itu juga
membawa saya, pada pertempuran lainnya, rombongan koboi akan saling
berkejaran dengan rombongan pemanah Indian, sementara yang lainnya akan
saling menjatuhkan dalam gulat seru dibumbui tebasan kapak dan tikaman
pisau.
Untungnya
imajinasi itu cuma kilasan saja, dalam tempo tak berapa lama saya
sadar, saya hidup di tahun 2014, ketika orang sini tak lagi bicara
kolonisasi namun globalisasi. Lamunan saya buyar ketika bus sekolah
kuning, yang biasanya saya lihat di tivi ini membawa rombongan Fulbrighter peserta Applied English Center berbelok arah menuju sebuah danau, Clinton lake namanya.
Kalau
kita, orang Indonesia merayakan kemerdekaan tiap 17 Agustus itu dengan
pawai indah dan karnaval dua hingga tiga hari, orang Amerika, khususnya
di Lawrence merayakannya dengan berplesir ke tempat wisata dengan
berkumpul bersama keluarga dengan acara utama barbeque, atau singkatnya
bakar-bakar daging, selepas itu mereka akan bermain dengan anjing atau
mandi di danau. Pada malam hari, mereka akan menikmati permainan kembang
api di pusat kota (downtown), juga bersama keluarga dengan duduk santai
di taman kota.
4
Juli datang di kala Summer, yakni musim panas. sebuah musim yang
ditunggu dan dinanti. Ini musim saatnya liburan dan senang-senang.
Kansas University tempat kami pelatihan saat ini sepi dan lenggang. Ini
kata student assistant kami, Mary. Dia bilang, sepertiga penduduk
Lawrence adalah mahasiswa dan saat ini banyak yang berlibur, mudik atau
liburan ke tempat wisata.
Saya
bersyukur bisa sejauh ini melangkah, setelah dibawa terbang kurang
lebih 22 jam melintasi Atlantik. Ini waktu terbangnya, belum ditambah
waktu tunggu di bandara Changi Singapura, Narita Jepang, Minneapolis
loh. Saya bersyukur bisa diberikan kesempatan belajar di negeri orang.
Merantau bagi saya, sejauh ini cuma ke pulau Jawa saja. Tak ada pikir
sampai lain negara. apalagi ke Amerika Serikat. sebuah negara yang cuma
saya lihat dari dekat lewat tivi dan media online.
Ditengah
kerindangan pepohonan dan hamparan hijau rerumputan, kami menikmati
suasana empat juli khas Amerika. Berolahraga, maen bola voli, sepakbola,
lempar tapal kuda dan aneka game lainnya. Tapi saya tak bisa menikmati
rasa barbeque, olahan Mac, pemuda yang juga student assistanship kami.
Mac keturunan jepang dan kuliah undergraduate disini. Summer kali ini
bertepatan dengan bulan Puasa.
Saya
senang tak sendiri, sebab ada teman lainnya yang beragama Islam yang
juga berpuasa. Dari 25 Fulbrighter yang berkesempatan memantapkan bahasa
inggrisnya selama enam minggu di KU, ada muslim yang berasal dari
Afganistan, Niger, Mauritania, termasuk saya Indonesia. Selain saya yang
dari Indonesia, ada Pak Fahmi, dari Makasar, Putri Lenggo dari Padang,
dan Iin Parlina dari Cianjur.
Cuaca
di Lawrence, termasuk panas namun berangin. Durasi siangnya lebih lama,
dalam artian dari matahari terbit hingga terbenam bisa sampai 18 jam.
ini juga otomatis berpengaruh pada lamanya puasa. Imsaq di pukul 4.30,
hingga Magrib di 20.50. Malam disini, pagi di Indonesia.
Bagi
saya yang terbiasa dengan suasana berbuka ala rumah, kolak dan cincau
dingin, kali ini mesti gigit jari. Apalagi untuk dapat makanan yang
tinggi rasa, dapat nasi pun terasa sangat bersyukur. Jadi saya harus
merelakan untuk tidak berharap mencicipi renyahnya ikan lempah kuning,
atau Pari lempah pedas, Ikan kembung betelok dan teman-temannya itu.
Cukup la sudah.
Puasa kali ini lebih menantang dan jadi bukti ketahanan diri untuk minggu-minggu awal penyesuaian.
Untuk
enam minggu ke depan dan dua tahun selanjutnya, saya akan berjibaku
dengan perkuliahan dan tugas-tugas yang padat. Setelah enam minggu di
Kansas University, saya akan terbang lagi ke Russelville, Arkansas, kuliah master ambil program Multimedia Journalism di Arkansas Tech University.
Saya membayangkan, Russelvile akan seperti Lawrence. Kecil namun indah. Pohon-pohon menciptakan lanskape indah berpadu dengan padang rumput hijau, diselingi rumah-rumah kayu, tak berderet seperti di Bangka, namun berpencar, dibalik bukit dan dirimbunan pepohonan itu. Seiring bus kuning membawa kami pulang ke Templin Hall, tempat kami tinggal untuk summer program tahun ini, saya berdoa semoga Ramadhan kali ini bawa berkah untuk masa depan. (Aksansanjaya)
Sudut Kampus |
sudut lain kampus KU |
Old Yellow School Bus |
Here we are, 2014 Fulbrighte PAC Kansas |
4 komentar untuk "How to Live at Lawrence in Kansas "
Semoga dak lupa dengan seperadik lama di Bangka. :D
Salam and Sukses Selalu, bang.
sukses gale2 la, met berpuasa juga ne