Fotografer yang Baik Jauhi 6 Asumsi Salah Fotografi berikut ini !
Tulisan ini tidak
untuk menciptakan labilisasi hati gara-gara salah satu asumsi atau persepsi ini
ada di anda. Jangan merasa saya kemudian terkesan sok-sok_an terkesan paling
jago foto. Jujur saja saya orang biasa saja yang hobi foto, dan bersusaha untuk
belajar dan selalu belajar. Agar foto yang saya hasilkan tepat pada sasaran
dalam artian diterima dalam konteksnya. Misalnya, foto di perayaan pernikahan
mampu memuaskan pelanggan saya, atau foto tersebut dapat dimuat di harian
lokal, karena memenuhi syarat jurnalistik. Tulisan ini semata lahir, dari
pengalaman pribadi sekaligus pergaulan dengan sesama rekan fotografer.
Persepsi pertama
yang salah adalah “Semakin canggih gear
maka semakin baik hasil foto”. Adalah benar jika saat ini, sejumlah brand
terkenal mengeluarkan puluhan tipe dan jenis DSLR dengan keunggulan
masing-masing. Ada ratusan lensa yang muncul dengan harga yang alang kepalang. Ada
kemudian, pemilahan kelas-kelas user, seperti pemula, amatir dan professional.
Alhasil, yang kemudian
terjadi adalah, banyak pemula terjebak pada persepsi ini. Gear yang baru dibeli
dengan uang pas-pasan itu seolah tidak lagi memenuhi keinginannya. Noise yang
muncul di foto, dianggapnya kesalahan kamera karena low entry level. Warna yang
kusam gara-gara lensa yang tidak support. Maka, tak lama kemudian, ia berani
berutang untuk upgrade gear.
Tapi yang terjadi
adalah ia menghasilkan foto yang sama dengan sebelumnya. Tidak ada perubahan
berarti. Hasil foto dengan kamera D800 nikon sama saja dengan Nikon D40. Kualitas
fotonya tidak membuat kemudian paket harganya tambah naik. Sama saja dengan
sebelumnya.
Saya ingat ada yang
bilang, berkenaan dengan benda, ada teori tingkat kepuasan, kurang lebihnya,
semakin menggebu ketika di awal-awal kepemilikan, namun perlahan menurun
kepuasannya. Alias kembali ke titik netral.
Adalah tidak bijak,
memberikan kesalahan pada alat, daripada kemampuan diri. Yang menjadi soal pada
dasarnya, kurangnya kemampuan meningkatkan ketrampilan foto. Foto noise, bukan
gara-gara gear, namun kita saja yang terlalu memaksakan ISO terlalu tinggi. Atau
kurangnya exposure, sehingga warna menjadi kusam. Yang menjadi problem terbesar
adalah, kurangnya ketrampilan fotografi dibandingkan paket gear.
Usahakanlah menambah jam terbang, dan ketrampilan agar hasil foto semakin bagus. Tidak cepat berpuas diri dan akhirnya narsis sendiri. Belajar lah, dan praktekanlah. Jangan egois dan open minded.
Asumsi yang keliru
lainnya adalah, “Foto yang bagus adalah
tanpa edit”. Ini juga salah besar. Asumsi ini terkadang menyesaki kita
ketika di awal belajar foto. Sehingga, kita kemudian mempercayakan pada
kemampuan gear sahaja dalam menangkap momen-momen indah.
Pertanyaan besarnya
adalah, jika tanpa edit bagaimana bila itu terjadi ketika kita merekam momen
indah pernikahan. Ada pasangan yang melakukan akad nikahnya, pose mempelai pria
dan wanita serta penghulu dan orang tua mempelai terekam sempurna dengan
komposisi yang menarik, namun sayangnya foto tersebut ter_noda oleh foto light
stand yang ikut terekam pas di depan atau di belakang.
Apakah kita tetap
membiarkan foto itu tercetak, sedangkan foto lainnya tidak sesempurna tadi. Alangkah
“kejamnya” sang fotografer demi sebuah egoisme dangkal, tetap mempertahankan
konsep itu. Tak menyentuh software photoshop atau lightroom demi sebuah karya,
yang sesungguhnya hanya demi kepuasan dirinya sendiri. Sedangkan klien yang
jelas-jelas adalah konsumen jasa kita, tak menjadi pertimbangan utama.
Jika anda adalah
fotografer professional, yang terbiasa dengan prilaku, “One shoot one Kill”,
saya angkat jempol dan lewati saja bagian tulisan ini. Namun untuk yang baru
memasuki ranah fotografi, pikirkan lagi baik buruknya asumsi ini di kepala
anda.
Asumsi yang
berikutnya salah adalah, “ Foto tidak
perlu bagus, sebab nanti bisa diedit”. Ini kebalikan dengan asumsi tadi. Mungkin
anda berfikir, jadi serba salah donk, mana yang benar foto salah, diedit juga
salah. Saya tidak bermaksud membingungkan anda dengan kalimat itu. Saya hanya
ingin menegaskan, bahwa foto yang bagus alangkah baiknya jika dari kamera
langsung.
Begini analoginya,
anda ingin menciptakan sebuah kursi yang bagus kualitasnya. Tentu saja
diperlukan kayu yang berkualitas bukan?, semisal Jati atau Ulin. Bayangkan bila,
kayunya berasal dari kayu yang abal-abal, semisal bekas sisa toko furniture. Anda
tentu saja bisa membedakan perbedaan hasil olahan dari kedua bahan mentah
tersebut. Singkatnya, untuk menciptakan foto yang bagus, dibutuhkan bahan
mentah yang bagus pula.
Anggaplah foto yang
pertama anda jepret dan masih tersimpan di memori kamera itu bahan mentahnya. Anda
tinggal mengolahnya di software tertentu agar kualitasnya makin bersinar.
Persepsi berikutnya
yang salah adalah, bisa jadi diantara kita masih menganggap “edit dan olah digital itu sama saja”. Secara
logis, adalah benar olah digital masuk ke dalam editing. Namun, menurut hemat
saya, olah digital berbeda dengan editing yang saya maksud. Olah digital,
menambahkan elemen-elemen tertentu, menggabungkan sejumlah foto, atau merubah
dari foto dasar itu sendiri. Sedangkan editing, tidak lebih dari menambah atau
mengurangi exposure dari sebuah foto, menambah saturasi, dodging dan burning,
atau tanpa mengintervensi foto secara berlebihan. Ingat, simpulan diatas, bahan
mentahnya upayakan sudah bagus.
Asumsi berikutnya
adalah, “Menyamaratakan foto”. Maksudnya,
kita bisa jadi terjebak pada tone tertentu atau pada eksperimen-eksperimen tone
tertentu tanpa menyesuaikannya dengan kegunaan foto itu sendiri. Saya pernah
melihat, foto landscape diubah tonenya dengan warna-warna retro…hee. Agak aneh
loh. Atau foto jurnalistik, namun diubah-ubah tonenya sehingga jadi hilang
keaslian warna dasarnya, padahal bukankah foto jurnalistik tak boleh di
utak-atik. Jadi pikirkan kembali, untuk apa foto itu dan kegunaanya. Ada beberapa
jenis foto yang tak boleh diutak-atik. Untuk foto model atau fashion, sah-sah
saja jika diutak-atik maksudnya diintervensi lebih lanjut.
Persepsi
berikutnya, adalah “Mudahnya memberi sebutan
Fotografer”. Mudahnya kita memberi status pada seseorang yang telah
menyandangkan gear di bahu, sebagai fotografer. Benar saja dewasa ini, mudah
membeli kamera dan mempelajarinya. Fotografi bukanlah hal yang asing. Namun, bagi masyarakat awam tidak lah
mengetahui benar mana fotografer mana tetangga fotografer.
Saya tidak
bermaksud membuatnya sulit untuk jadi fotografer. Namun, pada masyarakat awam
terlanjur percaya pada seseorang yang menyandang gear, padahal baru sebulan
belajar sebagai orang yang “bisa” moto. Masyarakat atau user dari fotografer
harus bijak dan pintar-pintar agar tidak salah pilih mana fotografer mana
tetangganya fotografer_maksudnya orang lain bukan fotografer.
Saya pikir, ada
baiknya jika di dalam Kartu Tanda Penduduk Indonesia dicantumkan jenis
pekerjaan sebagai Fotografer. Ini impian saya juga, bahwa fotografer seyogyanya
adalah profesi sama halnya dokter, pengacara atau akuntan.
Atau, anda bisa
jadi mempercayakan pada penilaian masyarakat saja, mirip dalam cerita Silat. Nanti
pesilat yang tangguh lah yang akan muncul punya nama. Ibaratnya serahkan saja
pada mekanisme penilaian sosial masyarakat, atau ektrimnys seperti hukum rimba
itu. Tidak usah repot-repot mempersalahkan status fotografer. Kasusnya mirip
dengan wartawan tanpa surat kabar (WTS) atau wartawan resmi.
Tapi sekali lagi,
ada banyak manfaat sebenarnya ketika fotografer itu adalah profesi “diakui”. Kredibilitas
dan profesionalisme bisa diandalkan. Masyarakat punya pilihan yang matang. Ujung-ujungnya,
profesi ini jadi menguntungkan bagi sang fotografer sendiri. Salah satu caranya adalah, bergabung dengan
organisasi fotografi yang resmi juga. Diakui secara hukum adalah salah satu
cara, agar fotografer mendapatkan tempat yang layak.
Saya pikir saat ini, Indonesia punya FederasiPerkumpulan Senifoto Indonesia (FPSI). Sebagai wadah bernaungnya fotografer
seluruh Indonesia. Meskipun, selain itu ada banyak komunitas atau organisasi
fotografer lainnya yang tersebar di seluruh nusantara. Kita tidak juga menutup
mata dengan peran mereka dalam memajukan fotografi di Indonesia.
Demikianlah sejumlah renungan mengenai kesalahan
mempersepsikan dunia rekam gambar ini. Saya mohon maaf apabila ada
kesalahpahaman dalam cara penyampaian. Tulisan ini adalah renungan untuk
perkembangan fotografi yang lebih baik, terutama di Bangka Belitung. Sekali lagi
tidak untuk mengajarkan, namun lebih kepada evaluasi diri saja dalam usaha
pembelajaran. Sekali lagi, pilihannya ada di diri masing-masing. Salam jepret.
! (aksansanjaya).
Posting Komentar untuk "Fotografer yang Baik Jauhi 6 Asumsi Salah Fotografi berikut ini !"