Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemarau oh kemarau

 ilustrasi

Saya hitung-hitung hampir sepanjang empat bulan hingga saat ini, kemarau melanda Bangka Belitung. Di bulan ini, September, ada sekitar dua kali hujan. Termasuk kemarin,Sabtu (22 september), itu ketika saya berada di Jebus dan Parittiga. Dua Kecamatan yang terletak di Bangka Barat. Dua kali hujan tersebut terbilang langka. 

Saya rasa kemarau adalah hal yang biasa untuk iklim tropis seperti Indonesia ini. Musimnya cuma ada dua, musim hujan dan kemarau. Meski ditambah lagi dengan musim yang angin-anginan, musim yang sukar diprediksi. Musim Panca roba namanya. Ini untuk menggambarkan musim yang kerapkali berubah tiada menentu.

Kadang saya berfikir untuk musim terakhir ini bisa jadi karena kemalasan BadanMetreologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) itu sendiri. Untuk hal-hal yang berubah-rubah, sukar diprediksi, jadi disebutkanlah generalis nya. Panca roba. Kenyataannya, bagi saya pancaroba itu sendiri sebenarnya musim hujan. Sebab seringkali hujan dibanding panasnya. Namun itu dulu. Sekarang BMKG tanggap dan informative.


Musim panas terpanjang, kalau saya tidak salah itu lima tahun lalu, sekitar tahun 2007. Ini bisa jadi salah. Tapi saya masih mengingatnya. Itu masa ketika pemilik “kolong” panen besar. Bisnis penjualan air mentah ramai. Yang punya kolong jadi berkah sendiri. Berkah di musim panas. Saya pun tak tahu, apa pasal seseorang bisa memiliki kolong. Ia punya kuasa atas kolong.

Kolong adalah genangan air yang cukup luas. Lebih luas dari sumur namun tak memanjang seperti sungai. Ia semacam waduk namun lebih kecil. Pembentukannya karena bekas galian tambah Timah. Ditimpa hujan terus menerus, tergenanglah ia.
Bisa jadi seseorang dapat memiliki kolong, sebab dulunya mungkin itu tanah miliknya. Kemudian gara-gara ditambang ia tak ditimbun lagi. Lama kelamaan terbentuklah kolong. Kami juga sempat punya kolong ini, akibat tambah timah juga. Airnya tapi tak layak minum. Namun cukup untuk kegiatan mencuci baju. 

Kemarau juga saya ingat, sebagai hari kematian bagi ikan-ikan penghuni rawa dan kolong atau Bandar kolong. Air yang menipis membuatnya terperangkap. Ini menjadi tangkapan seru. Ada yang menggunakan tuba. Sejenis akar tumbuhan yang beracun. Akarnya ditumbuk-tumbuk hingga tercerai berai. Lalu diaduk-adukkan ke air kolong atau genangan air. Dijamin ikan-ikan segera KO. 

Tapi ceritanya kini berbeda, tadi siang saya lewati jalan baru, Lingkar Timur. Di sejumlah kolong pinggiran jalan daerah Air Anyir, beberapa orang menggunakan setrum. Ini terlihat dari dynamo atau aki motor namanya, kemudian ada kabel menghubungkannya ke batang besi runcing. Untuk dimasukkan ke dalam air.
Saya heran, dulunya teknik menangkap ikan ini tak pernah dikenal. Paling canggih pun ketika itu pakai opas. Kalau tidak salah. Efeknya lebih beracun dibanding tuba. Ikan kelik (lele) yang bahkan mampu lolos dari tuba dijamin buntang (proses sekarat untuk ikan-red).

Ada pula yang membawa rombongan penjala ikan. Rupanya genangan air itu membawa berkah juga. Ada yang untuk mandi, mencuci motor dan juga menangkap ikan. Teman saya, tiap sabtu minggu, kegiatannya memancing di ratusan kolong-kolong ini. Entah bagaimana ceritanya, kok ikan Nila dan semacamnya bisa berkembang biak di jalan baru ini, Lingkar Timur.

Musim kemarau tahun ini juga membuat para petugas pemadam “banjir job”. Ada yang iseng bakar hutan. Ada pula yang karena lalai lupa padamkan kompor. Yang bakar hutan sebenarnya untuk bikin ladang. Menyambut musim hujan nanti, cara tercepat membersihkan hutan setelah ditebas dan ditebang tanaman berikut pohonnya adalah dengan dibakar. Dibakar juga bikin tanah jadi subur sebab banyak unsur karbon sisa pembakaran.

Namun perkaranya bisa panjang kalau bakar di musim kemarau. Dedaunan meranggas dan kering air. Angin begitu panas dan bertiup kencang. Sekali bakar langsung merambat kemana-kemana. Apinya bisa tak terbendung lagi. Apalagi dedaunan kering menjadi bahan bakar empuk bagi si jago merah ini. Akibatnya para pemadam kebakaran harus ekstra keras memadamkan hutan. Dulu belum ada pemadam kebakaran, tahun-tahun 90-an. Kalau hutan terbakar, maka dibiarkanlah sampai kemana si api sanggup.  

Jalanan berdebu dan rentan bikin orang sakit ISPA. Belum lagi kalau ada kiriman asap dari Sumatera sana. Meski untuk terakhir ini jarang sekali ada. Penyakit musim kemarau biasanya panas dalam dan Infeksi Saluran Pernafasan itu. Maka jika berkendara dengan motor, siapkanlah masker. Agar debu dan asap tak masuk mulus ke tubuh.

Musim kemarau tahun ini semakin diyakini akan lama. Ini berdasarkan tanda-tanda alam. Setidaknya ada dua tanda mengapa musim kemarau akan berlangsung lama. Pertama adanya matahari cincin ketika lebaran ketiga. Matahari seolah punya cincin yang melingkarinya. 

Kedua, ketika digelar ritual Sembayang Rebut. Warga Tiong Hoa percaya kalau malam acara itu ada hujan turun atau gerimis, maka Kemarau akan berganti Hujan tak lama lagi, begitu pula sebaliknya.

Malam itu, tak ada hujan bahkan gerimis. Pertanda alam itu bikin perkiraan itu jadi jelas. Kemarau akan lama.

Namun itu kan pertanda alam, isyarat-isyarat yang bisa juga nyaris benar seperti BMG dan petugas prakiraan cuaca di Tivi itu. Jadi tak benar-benar betul. Bisa juga salah. Logikanya, tetap ada harapan bahwa Hujan akan segera tiba. 

Katanya, kata BMKG hujan akan turun sekitar awal bulan Oktober nanti. Jadi itu tak lama lagi. Hujan akan segera turun, dan orang-orang tak lagi mengeluh sakit kepala dan capek alang kepalang. Perigi akan terisi penuh. Dan musim tanam bisa dimulai. Yang pasti, para penambang Timah Inkonvensional itu bisa kembali bekerja. Menggali timah dan membentuk kolong baru. Mereka punya sumber air untuk menyemprot tanah.

Sebenarnya kita tak perlu kuatir juga, musim kemarau boleh berlangsung lama. Kan Bangka Belitung punya stok air, dalam kolong-kolong bekas galian itu. Ada hikmahnya juga, hutan habis tinggal kolong. 

Namun saya atau pembaca pasti mengerti, tak ada hutan, mana mungkin ada air.
Jadi simpulannya, mari berdoa sama-sama agar raga kita yang kering ini mampu disejukkan kembali dengan air dari langit itu. namun Jiwa kita tetaplah sejuk apakah itu kemarau dan hujan. (aksansanjaya)

Posting Komentar untuk "Kemarau oh kemarau"