Awas Labelling !!!
Labelling kurang lebih artinya penyematan
identitas secara sepihak kepada seseorang dan seringkali dalam konotasi negative.
Kata ini berasal dari bahasa Inggris, Label yang artinya cap. Labelling, adalah
proses memberi cap atau indentitas.. Labelling bisa dikenakan pada individu
tertentu atau kelompok dalam masyarakat atau ras.
Dalam konsep jurnalistik, labelling
seringkali tanpa sadar digunakan dalam redaksional berita. Misalnya pada
penyebutan ras, dengan mata sipit untuk keturunan tiong hoa, pisau di pinggang
untuk orang sumatera sebelah selatan. Pintar berdagang untuk orang Minang.
Pelit untuk orang Sunda.
Dalam elemen jurnalisme, wartawan digaris
bawahi untuk tidak melakukan labelling. Sebab ia rentan subyektifitas. Ada
kekhawatiran ia semacam penghakiman publik lewat media.
Labelling pada dasarnya persepsi awal.
Namun entah mengapa ia dianggap kebenaran bagi sejumlah besar masyarakat kita.
Orang ambon dilabeli dengan konsep kekerasan. Fundamental dilabeli terorisme.
Dan semacamnya. Meski kita tak serta merta sertuju dengan penyematan itu.
Ketika orang awam mendengar labelling,
informasi ini bisa jadi ditelan mentah-mentah. Akibatnya prilaku seseorang akan
berubah seiring kekuatan labelling itu bersemayam di otaknya. Mungkin orang
akan lebih hati-hati atau jaga omongan ketika bicara dengan orang Ambon. Bisa
jadi mungkin orang akan selalu “perhitungan” dengan orang Minang.
Padahal tidak semua orang Ambon gahar-gahar
dan temperamen. Orang Minang pelit mungkin dalam artian pandai berdagang,
pandai pula mengolah uang tentunya. Bisa jadi dalam hubungan antar manusia,
dalam hubungan sosial ia sering berderma. Atau si Ambon manise selalu manis dan
sering membantu sesama. Temperamen mereka bisa jadi kultur budaya dan adat
istiadat atau geografis. Yang terakhir bisa menjadi perdebatan.
Bagi individu, labelling menjadi persoalan
tersendiri. Bahkan bisa menjadi senjata pemusnah karir. Yang menjadi soal
adalah ketika ini terjadi dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial. Anggota
kelompok yang dicap secara negative lambat laun akan berubah. Bisa jadi ia akan
menarik diri dari lingkungan sosialnya. Timbul semacam antipasti atau asosial
terhadap lingkungan sosial.
Kalau ia tak menjadi anggota kelompok
sosial dimaksud, tak menjadi soal. Sebab, tiada kepentingan. Alhasil prasangka
miring pun tak membuatnya menjadi makhluk anti sosial. Ia bisa jadi melupakan
nya dan life stiil goes on.
Yang paling parah adalah ketika labelling
diberikan oleh strata sosial yang lebih tinggi. Dalam artian ia pemegang kuasa
atau punya otoritas tersendiri. Dalam ilmu komunikasi, pesan dari golongan ini
lebih mudah dipercaya karena dianggap kredibel.
Bagi korban labelling tersebut ini menjadi
mimpi buruk. Sebab labelling akan mudah diterima dan diamini serentak. Apalagi
tak ada anggota lain yang befikir kritis. Apalagi dalam sebuah komunitas yang
bertipe oligopoly. Kebenaran hanya milik kelompok atau golongan tertentu. Ketika
tiada anggota lain yang mampu meredam efek labelling.
Mimpi buruk pun akan menjadi-jadi jika labelling
ternodai oleh modus politik. Dominasi golongan digabungkan dengan politik. Alhasil
penyematan persepsi riskan subyektif dan bias. Suatu tindakan yang unfair dan menodai konsepsi
kredibelitas.
Bisa dibayangkan kekuasaan menjadi
otorisasi kebenaran mutlak. Ini mirip zaman orde baru. Ketika Soeharto bisa
menjadi sumber kebenaran dalam bernegara. Sehingga setiap kata pun, kata
Menteri Dalam Negeri selalu diawali dengan Kata Bapak, atau Perintah Bapak.
Bagi yang berbeda dengan Soeharto, bisa
dicap aneh-aneh, anda bisa-bisa dituduh Subversif. Atau anda Komunis tulen.
Jaman orde baru, kebebasan berbicara dan ide-ide baru dianggap sah ketika
selaras dengan Soeharto, tapi ketika berbeda anda tiada tempat kecuali bui itu
sendiri.
Kembali ke kelompok sosial, labelling bisa
menjadi bumerang itu sendiri. Ia menjadi senjata makan tuan. Kita tak pernah tahu,
anggota kelompok “kiri” bisa menyimpan ide besar bagi kemajuan kelompok. Tujuan
kelompok bisa cepat tercapai jika semua anggota bahu membahu dan saling
melengkapi. Dalam perbedaan bukan dalam kesamaan.
Jika perbedaan dianggap kesalahan, maka
bisa jadi kita yang punya otoritas tak menyadari bahwa kita hidup di Indonesia.
Sebuah Negara yang punya ratusan suku bangsa, bahasa dan budaya.
Dalam komunitas yang kurang dewasa,
seringkali emosional sering menjadi pertimbangan dalam pengolahan kebijakan.
Apalagi dalam sebuah komunitas atau kelompok sosial yang sedang berkembang,
kebijakan-kebijakan seringkali diambil secara aksidental dan temporal. Belum
punya indikator pasti, akibatnya pemegang otoritas bisa jadi menggunakan
subyektifitas nya sebagai metode penilaian. Ini rentan bias dan ditunggangi
kepentingan yang lebih besar.
Bertindak obyektif memang tak mudah.
Apalagi hidup dalam kultur organisasi oligopoli. Modus-modus politik dan ambisi
pribadi sukar dihilangkan. Namun pada hakikatnya, kita memang hidup dalam dunia
labelling. Dalam terpaan media massa sarat dan ragam informasi. Ketika arus
pesan membawa makna-makna baru dalam varian kemasan yang menarik itu.
Namun dalam kungkungan informasi itu, kita
masih dapat mencari perbandingan dan belajar kritis dan klarifikasi. Informasi
tak ditelan mentah-mentah namun diamati, bila perlu dialami. Agar didapat
pengalaman pribadi. Kebijakan akhirnya lebih kredibel dan akuntabel.
Penghakiman individu lewat media harus
dihindari oleh setiap wartawan. Ia haruslah berpihak pada kebenaran dan
advokasi minoritas. Metode ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi
pemegang otoritas. Bukan mendominasi kebenaran dan hal-hal semacam baik dan
buruk.
Satu lagi, klarifikasi dan pendalaman
informasi juga dua hal penting. Informasi awal tak bisa benar. Ia perlu dikross
cek dan diukur kebenarannya lewat wawancara dua atau tiga pihak. Bagi pemegang
otoritas, dua hal ini dirasa jadi bahan pertimbangan juga ketika memperlakukan
anggota sosialnya. ***
1 komentar untuk "Awas Labelling !!!"