Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

In Memoriam of Bak

Salam, dulunya pernah “berjuang” melawan Belanda. Konon saat itu ada pejuang lokal yang sembunyi di hutan-hutan Baturusa. Dan Si Salam ini tukang antar makanan ke pejuang itu. Salam dari dulu hingga meninggalnya ia di tahun lalu, seorang Petani Lada dan Karet. Minum air dingin tiap pagi dan menghindari penyedap rasa. Berperahu ke kebun. Akrab dengan sungai serta kepiting remangok.

Punya anak empat orang, Wo Ni, Nga, Cu dan Isnaidi. Isanidi anak nomor tiga. Sama seperti tiga saudara lain Cuma sekolah dasar saja. Sebab sebagai keluarga Petani, konsep sekolah tiada dipandang tinggi. Selain memang karna kurang biaya.

Hamidah, istri Salam tergolong keluarga berada. Di usia tua nya itu, masih jelas jejak ayu masa muda itu. Ketika jaman Jepang, Hamidah “diselamatkan” Salam. Mungkin mereka dulunya tidak pacaran. Sebab kalau tidak langsung menikah, bisa-bisa Hamidah dijemput paksa Jepang. 

Salam beperwarakan kecil dalam arti tidak tinggi seperti kebanyakan orang lain. Tak lebih dari 150 cm. Kurus dan keras. Hamidah lebih tinggi dibanding Salam. Namun ia pintar dan gesit. Jaman Jepang sempat kerja Rodi. Namun ceritanya tak seperti di Jawa. Mereka diperlakukan baik. Diberi makan cukup. Diberi pakaian. itu ketika bangun dermaga Bom Baru di Palembang. 

Sebelumnya ia sempat hidup di jaman Belanda. Masa itu, kepiawaiannya dalam memijit menjadi daya jualnya. Hingga Nyonya Belanda pernah ia pijit. Baturusa dulu adalah residen tersendiri. Pijitannya terutama pada ihwal tulang. Patah, remuk, keseleo, bisa ia rawat. Di usia yang 80 lebih itu, tenaganya masih powerfull. 

Salam kemungkinan besar lahir di tahun 1920 an. Masa itu pergerakan kepemudaan sedang naik daun. Di Jawa, politik etis diberlakukan. Dan anak muda Indonesia mulai menyadari bentuk perjuangan lain, selain angkat bambu dan gerilya

Karena keluarga petani itu. Masing-masing anaknya seolah mencari jalan sendiri untuk hidup. Cita-cita seolah seperti awan ketujuh. Hidup seperti sungai itu lah, mengalir dan mengalir. 

Isnaidi, tak mau selalu kerja kebun. Kehendaknya tak melulu soal lada dan sungai. Meski tak bisa dipungkiri. Ia pada dasarnya hidup dari itu saja. Areal kerja tak lebih dari hutan, rawa dan sungai serta ladang. Menebang pohon Gelam dan Bakau untuk dijual. Menangkap kepiting Remangok. Berburu Beruk untuk umpan Kepiting. Berperahu dan tinggal di ladang selama enam hari. 

Hanya di hari Jumat, ia dan keluarganya ke  Kampong. Sebab, orang Melayu kampong di Bangka umumnya pulang hari Kamis sore atau Jumat pagi, untuk bisa sholat Jum’at berjamaah di kampong. Begitulah dari dulu hingga sekarang. 

Ini bisa jadi akibat politik kolonial. Untuk memonitor masyarakat lokal, Belanda merelokasi areal kampong yang tersebar itu menjadi terhubung dalam satu jalan raya. Muncul istilah Kampong Baru dan Kampong Lama. Kampong yang ditinggalkan menjadi kelekak tersendiri, disitulah kebun mereka tempat bercocok tanam dan urat nadi kehidupan.

Di kampong baru, rumah dideretkan sejajar dengan jalan. Ini khas. Tak bisa ditemui di Jawa. Kini mudah saja mengunjungi kampong-kampong di Bangka sebab jalan telah tersedia dan terhubung baik.

Isnaidi ternyata tak melulu menuruti pola hidup petani. Menginjak remaja ia numpang di rumah bibi tertua. Bundo biasa dipanggil tinggal di Sri Pemandang Sungailiat. Daerah yang telah menjadi kota. Ramai dibanding kesunyian Kampong. 

Masa mudanya dihabiskan membantu rumah tangga Bundo. Termasuk mengasuh anak-anak Bundo. Cucong dalam kata Kampong Kenanga. Atau kemenek dalam kata Baturusa.

Ngelankong di TTB

Masa awal tahun 60 an ketika usianya menginjak belasan. Meski terkadang ia pulang ke Baturusa. Masa-masa memburu kera ekor merah. Dagingnya dijadikan umpan untuk menangkap kepiting. Hingga pada sebuah kesempatan sekitar awal tahun 70-an. Tambang Timah Bangka (TTB), membuka lowongan kerja di bagian eksplorasi. Ia melamar dan diterima pada unit Bor darat. Usianya kurang lebih menjelang 20 tahun.

Begitulah, awalnya posisi itu disebut dengan Melangkung. Honor dalam istilah sekarang. Lama ia ngelangkung hingga pada tahun 80-an diterima sebagai karyawan tetap. Awal bulan selain gaji dapat beras, kacang hijau gula dan minyak sayur. Kalau lebaran, Timah kasih biskuit kaleng merk Kong Guan. 

Biskuit ini beragam bentuknya, ada yang polos, persegi. Kadang ditaburi gula. Namun yang disenangi anak-anak adalah biskuit berlapis. Ada rasa di dalamnya seperti coklat. Namanya Roti Es.

Punya mandor asal Kenanga. Seman namanya. Istrinya dukun beranak cukup terkenal bernama Jaunah. Seman tipikal pendiam, posturnya tinggi dan langsing. Berwibawa tak banyak bicara. Sedangkan Jaunah, tipikal wanita mandiri. 

Jaunah terbiasa memancing, mencari tumbuhan resam, atau mencari getah pohon Kabung untuk dibuatkan gula Kabung. Ia menaiki sendiri tangga bambu sepanjang belasan meter itu. Sepotong bambu di bikin lubang diantara ruasnya dalam jarak 30 centimeter. Lalu lubang itu dimasukan kayu kecil sebagai pijakan. Tangga bambu itu dikat ke batang Kabung. Sehingga kokoh tak mudah goyanh.

Jaunah menaikinya, menyadap getah Kabung muda itu. Lalu kembali esok hari dengan naik tangga itu. Mengambil sekaleng getah yang penuh. Kemudian memasak nya dalam tungku perapian. Ia tebang sendiri kayu bakar dan memikulnya ke rumah. 

Perlu waktu lama dimasak dalam kuali bediameter satu meter itu, hingga getah itu mengental dan bewarna kecoklatan. Ketika tanda itu ada, segera Jaunah susun cetakan kaleng, lalu ia tuangkan getah yang mengental dan terasa maniz. Ketika ia mengeras, gula Kabung berbentuk bulat itu dijual dalam bungkusan daun pisang isi lima biji.

Selain itu, ia pintar meramu obat tradisional. Beragam jenis akar dan dedaunan ia kuasai. Banyak orang berobat padanya. Dan spesialisasinya adalah pada klinik kesuburan. Ia dikenal karena jago dalam memijit pasangan yang rindu anak. Pasangan ini mesti dipijit dua-duanya. Setelah itu diberikan ramuan khusus. 

Sebagian besar metode itu berjalan secara sempurna. Dalam artian, banyak pasangan yang kemudian berhasil punya anak. Anak-anaknya juga membantu membuatkan tanaman herbal itu, selain untuk kesuburan juga untuk obat masuk angin, demam dan sebagainya.  Anak perempuannya bernama Hayati yang kerap melakoni praktik itu. Menakar ramuan obat itu. Saat itu ia masih muda, usianya sekitar 20 tahunan kurang lebih.

Bertandang ke Mandor, dapat Jodoh

Masa itu sekitar tahun 70-an. Ketika Orkes Melayu sedang melambung dan ramai anak muda berambut gondrong dan bercelana Cut bray. Teater 21 belum ada, dan Misbar masih menjadi lokasi favorit menonton film. 
 
Hayati, dari foto masa muda itu sangat cantik. Putih kulitnya ramping tubuhnya. Rambut panjang dan ia nomor dua termuda dari enam saudara, ada Mak Wo, Mak Ngah, Mak Cik, Cak Jang dan si Bungsu Acu Didi. Nama ini penyebutan saja bukan nama asli. 

Isnaidi sering bertandang ke rumah mandornya itu. Seman suka rokok warning. Ketika Isnaidi datang ia suka bawa rokok dan pisang paling bagus kondisinya. Paling top dan mahal. hasil dari ladang sendiri.

Jaman itu, di Bangka Belitung, ketika pemuda datang ke rumah orang tua wanita untuk tiga kalinya. Segera orang tua perempuan akan bertanya apa maksud dan tujuan. Langsung ke pokok tujuan. Ingin serius atau cuma main-main. Kalau cuma main-main, cukup malam ini saja. Kalau ingin serius, segera ajak orang tua datang melamar.

Isnaidi dan Hayati lalu menikah. Dari foto-foto lama saya tahu resepsi itu meriah. Baju adat melayu corak Palembang itu. dan tamu undangan menikmati hidangan di atas kursi panjang, terbuat dari papan panjang. Begitu juga meja makan, dari papan panjang itu. Orkes Melayunya punya tetangga depan rumah Jaunah. Itu kakaknya Tomy Ali, penyanyi yang lalu terkenal di kemudian hari asal desa Kenanga.

Punya anak pertama, lalu meninggal. Kemudian kedua, bernama Ishar, ketiga saya , lalu ada Isniarni, Iis fitriyah dan si bungsu, Iisfarina.

Tahun ketika saya lahir,
19 Desember 80-an, keluarga pindah ke ujung Kenanga pas waktunya dengan Pabrik Es Kenanga itu dibangun. Awalnya rawa-rawa, kini daerah itu saya pikir tempat terbaik, dan rumah terbaik yang pernah ada dibanding rumah lain di kampong atas.

Dulunya ketika musim hujan. Kami bisa mandi dibelakang rumah. Saking dekatnya, tinggal buka pintu, buka baju bisa langsung terjun ke air.

Hayati pribadi yang mandiri. Terbiasa ditinggal suami tasir sebab jarak tempat kerja yang jauh di hutan-hutan. Hayati yang urus empat anaknya. Mengajari aksara pertama hingga sekolah. Anak-anak lebih dekat dengan ibunya. Lama masa itu, sejak saya lahir hingga selesai saya kuliah pada 2006 lampau. 30 tahun lebih  Bak, kami menyebut bapak mengabdi di Timah.

Saya pikir, Bak (orang tua) yang terbaik. Sekitar 35 tahun lebih mengaruhi bahtera rumah tangga. Tak pernah ku dengar Bak marah besar,malas atau segala macam ucapan menyakitkan. Kepada anak-anaknya tak pernah ia mengumpat atau mencela atau menyakiti fisik.

Karakternya diam dan suka bekerja keras. Orangnya suka kejutan dan melindungi anak-anaknya. Umurnya tak panjang, mungkin Tuhan lebih sayang kepadanya. 5 Januari lalu, ia dipanggil ke hadirat-Nya. Dan minggu depan adalah empat puluh hari masanya. Semoga beliau diterima di sisi-Nya dan mendapatkan surga terbaik. Amiin. (aksansanjaya)

Posting Komentar untuk "In Memoriam of Bak"