PUASA VS HEDONISME, Puasa yang Mampu Melawan Rasa Suka akan Dunia
Ramadhan kembali lagi. Sebuah momen yang sekali
dalam setahun dalam agama Islam. Bulan yang lebih baik dan indah dibanding
seribu bulan. Penuh berkah dan penuh ampunan.
Saya pikir setiap orang menginginkan arah hidup
yang makin baik. Dalam artian persentase amalannya lebih banyak dan berkualitas
dibanding bulan dan tahun sebelumnya. Ini sifatnya naluriah dan fithrah.
Ramadhan adalah momen perubahan diri dimaksud. Menjadi pribadi yang makin baik dalam
hubungan dengan manusia dan Tuhan YME.
Nah perihal menjadi pribadi yang lapang dan
bermanfaat di bulan Ramadhan memang susah-susah gampang, Sikap itu kadang
dianggap congkak. Pesimis bilang jual agama cuma sandiwara. Tapi tak semua
anggap seperti itu. Saya pikir perbuatan baik pasti selalu dimaknai baik. Itu hukum
alam. Yang memaknai tidak baik biasanya oleh mereka yang “bermasalah”.
Arah pembicaraan saya ini dimaksudkan pada
pertanyaan, sejauh mana puasa kita mampu menyikapi keberagaman kita dalam era
yang serba instant dan makin hedonis ini.
Benar bahwa dunia kita dipenuhi materi dan
norma-norma hedonis. Suatu sikap yang sangat mementingkan keduniawian. Dan kita
pun sebagai manusia, ada rasa tergoda. Rasa kita sebagai manusia seringkali
terombang ambing dalam gelombang nafsu duniawi.
Godaan ini pun semakin menjadi-jadi ketika media
berada di garda terdepan nilai konsumerime. Setiap hari, iklan produk
kecantikan hingga mobil berjejer di depan indera kita. Dari produk yang
sifatnya primer, sekunder hingga tersier lalu lalang tiap menit dan detik.
Kemasannya semenarik mungkin. Modelnya sebening
kaca. Dan lakunya seatraktif mungkin menarik hati. Ini kalau pada segmentasi
media cetak dan elektronik. Ibaratnya sekali bersentuhan dengan media ini, mau
tidak mau anda akan menyaksikan paket iklan dimaksud.
Belum lagi jika kita aktif dalam dunia maya.
Internet memungkinkan paket iklan setengah dijejalkan ke dalam memori kita. Internet
malahan lebih personal pendekatannya. nilai baik dan buruk gampang saja diakses
bagi siapa saja. Peluang penerimaannya lebih besar.
Konsumerisme pada akhirnya membuat kita konsumtif semakin
intim dengan hedonisme. Melihat tetangga beli motor baru, rasa hati tidak
karuan. Ingin membeli lagi meski harus kredit. Meskipun lagi, di garasi masih ada
motor dibeli tahun lalu.
Baju yang baru selalu diasosiakan pada lebaran dua
minggu lagi. Baju yang tahun lalu atau enam bulan lalu terbilang usang. Tidak
layak dibawa bertamu. Meskipun di lemari, masih tersimpan berpasang celana dan
baju layak pakai.
Perekonomian Bangka Belitung yang ditopang oleh
tambang Timah memang menggiurkan. Uang banyak bisa didapat dengan begitu mudah
dan singkatnya. Ini jelas meningkatkan daya beli masyarakatnya. Saking tinggi
daya beli ini, kita sampai sekarang masih harus impor sayuran dari luar.
Sayuran yang sebenarnya dapat ditanam di belakang rumah itu.
Mudah dapat uang bikin kita lupa produksi. Kita
cuma ingat konsumsi saja dari tahun ke tahun.
Puasa
obat manjur
Puasa bukan cuma soal tahan lapar dan minum serta
nafsu seksual saja. Ia lebih dari itu. Ia adalah pit stop dalam alur waktu setahun. Orang bilang evaluasi itu di
Desember, ketika pergantian tahun. Namun jika diselami lebih dalam, akan
tampaklah betapa Ramadhan memberikan kita oase tersendiri.
Puasa bisa menjadi obat manjur mengobati penyakit
konsumtif ini. Pengekangan hawa nafsu sebulan penuh itu menyadarkan kita untuk
berfikir ulang mengenai konsep hendak dibawa kemana diri ini.
Ramadhan mengajarkan kita untuk peduli dengan
sesama. Lapar perut membuat kita berempati terhadap mereka yang selalu
kekurangan. Mereka yang miskin papa, dimana nasi adalah barang mewah. Kita bisa
menjadi dermawan mendadak. Semua orang bisa menjadi sangat peduli. Panti Asuhan
yang biasanya lengang, tiba-tiba ramai dan kaya undangan berbuka bersama.
Kita kemudian rajin ke Masjid. Hampir tiap malam
Tarawih dan Tadarusan. Bulan sebelumnya yang biasa dua atau tiga shaf, kini
memanjang hingga ke teras. Nuansa Ramadhan menggilai kita dengan selalu beramal
sebanyak-banyak nya. Kita menjadi semakin dekat dengan sang Pencipta.
Pengaruhnya, hati menjadi tentram, tutur kata
semakin lembut dan bermakna. Kita menjadi sadar, hidup bukan cuma di dunia
saja.
Sifat iri terhadap tetangga mulai pudar. Motor baru
tak jadi dibeli. Toh masih ada motor lama. Niat semula kredit disadari hanya
permainan nafsu duniawi saja. Berlebih-lebihan dalam segala hal memang tak
elok.
Rencana beli baju baru tetap dilaksanakan. Namun
tidak untuk dipakai sendiri, namun disedekahkan pada yang berhak menerimanya.
Mereka yang kembang kempis di pinggiran sungai. Yang hidupnya bergantung pada
kapal yang berlayar makin menjauh karena ikan susah didapat itu. Ikan yang lari
karena habitatnya rusak parah itu.
Lebaran benar-benar dimaknai sebagai hari yang
memang fitri. Bukan semata baju baru dan kue di ruang tamu. Sebab oase itu
memberikan waktu yang berharga mengenali diri. Memberikan semacam energi
ruhiyah untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Bahwa iklan di televisi itu boleh lah beragam dan
seintensitas mungkin, namun dalam hati kita tahu “apa yang kita mau”. Bukan apa
yang mereka mau. Iklan online batik dan Blackberry
diskon gede di Facebook itu tak
membuat kita merajuk-rajuk. Konsep Trend ternyata
cuma temporar. Ia sesungguhnya tidak abadi. Batik tetaplah batik. Cuma
kemasannya diperbaharui.
Dalam hantaman media berikut anakan informasinya
itu, kita menjadi lebih tegar dan kokoh. Teknologi tidak membuai kita dengan
informasinya itu. Kita membangkitkan makna tersendiri. Ada respon aktif bukan
pasif seperti dimaui roh hedonis. Ada perlawanan atau pemberontakan diri.
Tentu saja pendapat ini bukan dimaknai untuk
menutup pintu dan berbahagia ketika Lebaran. Tidak boleh baju baru atau kredit
motor. Tidak boleh ke toko Emas. Boleh-boleh saja. Kemampuan setiap orang
tidaklah sama.
Seyogyanya ada masa kita perlu berfikir ulang dan
berhenti sebentar. Esensi nya adalah pengendalian nafsu untuk menuju kemuliaan
bukan pada kehampaan. Ramadhan adalah
oase itu. Memberhentikan kita. Membersihkan jiwa untuk mengantarkan kita pada
pribadi yang makin baik dari tahun ke tahun.***
Posting Komentar untuk " PUASA VS HEDONISME, Puasa yang Mampu Melawan Rasa Suka akan Dunia"