Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hareem; Perwajahan Opera Soap Indonesia

Hareem, riwayat mu dulu dan sekarang,
Perwajahan Umum Opera Sabun Tanah Air


Hareem tidak terlalu rumit. Seperti sinetron kebanyakan, temanya umum dan mudah dicerna oleh masyarakat. Siaran sedari pukul 7.00 malam, Hareem bercerita mengenai sisi negatif berpoligami. Konflik keluarga, berkisar pada perebutan harta dan cinta dikemas apik. Diproduseri raja sinetron Indonesia, Raam Punjabi, ia tampil hampir saban hari, Senin sampai Sabtu di layar tv saluran Indosiar.

Semuanya aman-aman saja sebelum 24 maret lalu. Masalah timbul ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberikan teguran pada Indosiar untuk memperbaiki materi siaran serta memindah jam tayang karena dinilai penuh adegan kekerasan verbal dan fisik. Indosiar pun berinisiatif menghentikan sinetron Hareem mulai Selasa, 31Maret. Setelah yang bersangkutan menyambangi KPI Pusat tiga hari sebelumnya untuk mengklarifikasi teguran.

Selain Hareem, KPI Pusat juga menetapkan enam sinetron yang tayang pada Januari 2009 sebagai sinetron bermasalah. Yaitu, sinetron Suami-suami Takut Istri (Trans TV), sinetron Muslimah (Indosiar), dan Abdel dan Temon (Global TV). Peringatan ketiganya dikategorikan “ Lampu Merah”, Sedangkan Alisa (RCTI), Tawa Sutra Siang (ANTV) dan Monalisa (Indosiar) dianjurkan memperbaiki materi siaran.

Suami-suami Takut Istri (Trans TV) bahkan mendapat teguran kedua karena dinilai tidak memperhatikan norma-norma kesopanan dan kesusilaan dalam konteks hubungan suami-istri, menampilkan adegan kekerasan dalam tumah tangga serta mengucapkan kata-kata kasar secara dominan. Selain Trans TV, Global TV juga mendapat teguran pertama untuk program Abdel dan Temon. Kali ini program tersebut diminta KPI agar pindah jam tayang ke pukul 22.00 untuk penonton Dewasa (D). Ditambah lagi karena Abdel dan Temon mengandung adegan dan pembicaraan vulgar dan menampilkan kekerasan fisik secara berulang-ulang.

Dua program lainnya, Tawa Sutra dan Alisa sebatas pada himbauan untuk perbaikan materi. Sedangkan,Muslimah, pada 8 Januari 2009 KPI Pusat telah mengeluarkan surat teguran kedua karena masih menampilkan adegan kekerasan verbal dan fisik serta berindikasikan melanggar kaidah-kaidah agama, seperti perlakuan yang tidak pantas terhadap orang tua. Untuk sinetron ini, KPI juga banyak mendapatkan pengaduan dari masyarakat .

Sesuatu yang Salah

Ternyata ada “something wrong” pada Hareem, juga pada ke-enam sinetron diatas, atau jangan-jangan pada seluruh sinetron tanah air saat ini.

Ketika Soemardjono menyebut soap opera itu sebagai sinema elektronik,Pendiri dan mantan Pengajar Institut Kesenian Jakarta itu sedari awal sadar bahwa sinetron memang bercerita seputar kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai konflik, yang bisa dibuat bersambung, berseri- seri, bahkan hingga 356 seri selama hampir 7 tahun. Berkat Tersanjung lah, Raam dijuluki raja sinetron Indonesia.

Ini murni bisnis hiburan, beda dengan film yang masih menjunjung idealisme. Sinetron dibuat sesuai dengan selera pasar. Tak heran, dulu-dulu , sinetron bertema alam ghaib menghantui jagad pertelevisian tanah air. Sekarang, temanya bergeser pada agama. Entah mengapa, sinetron keIslam-islaman tambah marak saat ini.

Jawabannya bisa jadi dilatarbelakangi keberhasilan film, Ayat-ayat Cinta. Ada uang di tema ini. Maka dibuatlah materi dengan identitas keIslaman. Sayangnya cuma sebatas identitas. Yang khas-khas sintetron masih ditampilkan. Kembali ke konflik tak berujung dan berseri-seri tadi. Selama masih menyedot mata penonton, masih laku dijual.

Parahnya lagi, ini membuat geram masyarakat lain. Protes pun datang silih berganti dari kelompok-kelompok Islam. Hareem, bercerita mengenai seorang pria berpoligami dalam rumah tangganya, bintang utama Shandy Aulia dan Tommy Kurniawan ternyata berkali-kali mendapat kecaman dan keberatan kalangan organisasi Islam. Puncaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta 145 orang pengaduan menilai 'Hareem' telah melecehkan ajaran Islam.

MUI menyatakan bahwa sinetron tersebut melecehkan citra Islam lewat perilaku buruk pemainnya. Kondisi itu lalu dianggap oleh KPI sangat berbahaya karena dinilai dapat menyinggung perasaan umat Islam di Indonesia.

Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Sendjaja, pernah menyampaikan dalam siaran persnya, bahwa sinetron tersebut telah melanggar aturan di P3 dan SPS KPI. Diantaranya adalah mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu.

“ Ceritanya merusak citra Islam lewat kelakuan seorang pemeluk yang mustahil seburuk itu,” ungkap anggota DPR RI FPKS, Mutammimul Ula. Itu tahun 2008 lalu.

Hareem ke Haram

Tak heran sampai ada simpulan, televisi itu isinya 99% sampah. Meski ini agak keterlaluan. Sebab masih ada yang baik-baik. Acara masak memasak, berita, dokumenter masih bisa mendidik. Namun terlalu banyak cerita berseri-seri serta ditambah program informasi entertainment, alias infotainment bikin simpulan itu mendekati.

Bagi produser, prinsip pasar adalah utama. Industri sinema televisi berkembang pesat karena ada tempat dalam televisi. Masyarakat butuh hiburan, yang tak bisa dilakukan pemilik televisi secara terus menerus. Bayangkan ketika, film yang itu-itu saja yang diputar?. Untuk mensiasati, dibuatlah sinema yang menghibur dengan berseri-seri tadi.

Setiap penayangan televisi pasti berdampak, sebab sebagai sebuah media massa, televisi menyampaikan ragam pesan. Parahnya, karena ia televisi maka yang terjadi adalah tayangan bersifat pasif dan non interactive process. Tak ada komunikasi timbal balik dan interaktif. Tayangan sebuah program memang bisa dimaknai secara berbeda tergantung dari kemampuan kognisi penerima. Maka tak heran, ada kejadian, anak yang habis nonton smackdown, bisa membunuh. Seseorang setelah menonton film porno, bisa-bisa berniat memperkosa.

Bagi seorang Karl Erik Rosengren, pengaruh media massa ternyata bisa kompleks dan rumit. Pengaruh ini setidaknya bisa skala kecil (individu) dan luas (masyarakat). Dari segi kecepatannya, bisa cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/ abad) dampak itu terjadi.

Bisa dibayangkan, sinetron semacam Harem, ditayangkan terus menerus. Jika dihitung-hitung, antagonis mendominasi di 90 persen cerita, ini diawal-awal cerita dan pertengahan, bahkan ujung, Sedangkan protagonis kebagian 10 persen jalan cerita. Ini hanya diakhir cerita yang bahkan di serial terakhir.

Mata masyarakat segala umur itu akan melahap segala umpatan, cacian, dan makian. Penggambaran yang jahat begitu mendominasi jalan cerita. Meski nanti bisa ditebak, yang baik akan menang. Namun porsi yang kecil tak begitu pengaruh. Ini pun untuk mengelola emosi penonton. Lalu apa yang akan terjadi, ketika anak-anak dan remaja ikut menikmati parade sinema ala India ini. Berdarah-darah disebagian besar cerita, lalu menang di akhir. Kata-kata kasar verbal itu yang akan lebih banyak meresap ke otak-otak mereka.

Dampak sinetron bisa jadi skala luas, kata Erik lagi. Bagi anak-anak, pesan ini akan terbawa pada saat mereka dewasa nanti. Lebih parah lagi, sinetron-sinetron jalan cerita seperti ini yang marak pada jam-jam prime time. Belum lagi sebaran stasiun televisi yang bersangkutan hingga ke pelosok-pelosok. Berjuta-juta pasang mata itu akan disuguhi pandangan penuh caci dan amarah itu sahaja. Pengaruh negatif bisa cepat dan massif.

Kultur atau Politik Media

Menghujat televisi juga tak bijak. Sebab kadang sebuah materi siaran memang menyuguhkan realita di masyarakat. Produser tak bisa disalah-salahkan karena membodohi. Profil masyarakat Indonesia yang masih percaya klenik, dan katanya ada yang suka poligami nyata adanya. Jadi materi yang diangkat memang realita di lapangan. Bahwa masyarakat ternyata suka juga dengan infotainment ada benarnya juga. Rating penonton tinggi pada program-program ini. Hal yang lumrah ketika Insert “di_diversitifikasi” dengan Insert pagi, Insert tengah hari itu, serta ditambahi versi investigasi pula.

Inilah lalu mengapa Martin Fishbein pada 1970 lalu dalam analisanya, mengungkapkan bahwa jenis masyarakat seperti ini, yang memanfaatkan sinetron atas dasar persamaan nilai atau kepercayaan. Like or dislike terhadap sebuah program acara karena didorong kepercayaan dan dari hasil evaluasi. Jika masyarakat percaya bahwa, Hareem mampu memberikan hiburan lalu timbul rasa puas setelahnya. Maka jangan heran, masyarakat bisa berlama-lama diwaktu penayangannya.

Expectancy value theory, si Martin juga jadi penjelasan mengapa untuk masyarakat lain Hareem dan sejenisnya dipandang tak memberikan kepuasaan sebagai tontonan. Mereka dianggap bukan menyajikan pandangan hidup yang realistis. Ada alasan untuk tidak suka, lantas pindah ke program acara lain.

Dilain sisi, bagi industri kreatif, semakin banyak yang menonton sebuah program acara, adalah tujuan utama. Ini lalu merembes pada antrian iklan per-spot yang ditunggu-tunggu bagi pemilik stasiun. Hubungan antara produser dengan pemilik media semacam simboisis mutualisme.

Bagi produser Hareem dan teman-teman, pragmatisme berkarya terlihat dari mencomot trend ke_Islaman. Sukses Ayat-ayat Cinta dengan 2,6 Juta penonton, tampaknya menjadi dasar pertimbangan. Manoj Punjabi pantas berbangga, sebab film yang diambil dari novel Habiburrahman Al Shirazy, sama-sama laku keras. Filmnya lantas ibarat magnet yang memicu beramai-ramai men_sinetronkan tema begituan.

Ketika, Hareem muncul dengan identitas religi dan benang kusut konflik, ia kena hukum, yang oleh Roland Barthes disebut, “the Author has death”. Materi bisa dipersepsi secara bebas, subyektifitas masyarakat tumpah ruah dalam ruang-ruang paling privat sekalipun. Tanpa ada campur tangan sang pencipta pesan. Akibatnya, bisa ada yang suka dan tidak suka. Bisa jadi anak-anak ketika dewasa punya nilai, seperti berjilbab atau tidak, sama saja.

Ihwal mengolah tanda dalam sinetron tersebut tampaknya kurang mengena. Baju muslim, seharusnya penanda seseorang yang baik tutur kata alias berakhlak terpuji, ini konteks dalam masyarakat islamis. Begitulah kepercayaan dan nilai-nilai dalam masyarakat muslim. Signifier berupa sosok wanita dengan makian dan iri dengki hendak disandingkan dengan jilbab, ibarat mengaduk minyak ke air. Ada pertentangan tanda dan penanda disana, tak tanggung-tanggung tentangan yang bisa memprovokasi.

Sosok Abi, signified_nya adalah seseorang yang diagungkan dalam kultur masyarakat Islami. Ia menjadi panutan dan sumber kebaikan bagi semua orang. Tutur katanya lembut serta menenangkan jiwa. Namun ditandakan dengan sifat yang angkara murka, bisa-bisa mengundang petaka. Tidak ada kesesuaian antara tanda dan penanda ini yang bikin Hareem dan sejenisnya harus diintervensi alias setengah “dipaksa” untuk tutup.

Sebagai sebuah proses komunikasi, seharusnya tingkat penerimaan yang tinggi menjadi acuan. Ini artinya pesan bisa diterima dengan baik. Agar proses penyampaian pesan efektif, “Penanda (signifier) dan petanda (signified) seharusnya merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

Begitulah ketika kontradiksi ini benar-benar memancing kontra. Akhirnya Hareem kini berubah. Sejak 31 Maret itu, judulnya berubah Inayah, yang hadir di hari dan waktu yang sama di Indosiar. Perubahan terletak pada format. Awalnya berjilbab bagi tokoh wanitanya dan peci berbaju koko buat tokoh prianya, sekarang diganti model kekinian. Tokoh Abi disebut Romo, sedangkan para Ummi sebutannya menjadi Amih.

Judul nya pun tetap menggunakan nama wanita. Pemilihan ini bukan tanpa pertimbangan. Trend judul tokoh lead female ternyata masih menarik. Judul-judul seperti Intan, Larasati, Jihan, Chelsea, Suci, Sekar, Lia, Rafika, Mirna, Alisa, Azizah, Cahaya, Soleha, Muslimah, Monalisa sudah tak asing lagi, Trendnya bertahan hingga sekarang sejak 2007 lalu.

Sekali lagi media seringkali berperilaku sebagai pencipta mitos-mitos baru ke tengah masyarakat. Hareem atau Inayah tetap saja adalah proses mitologisasi. Maksudnya, kehidupan masyarakat hendak digambarkan dengan cara penuh makna, serta dibuat sebuah pemahaman generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia.

Wajah sinetron Indonesia seharusnya menyuguhkan obat bukan sampah apalagi racun untuk masyarakat. Sebab selain berfungsi menghibur, media massa juga ikut mendidik. Bahkan salah satu pilar dalam hidup ala demokratis. Sebebas apapun kreativitas, tetap tidak bebas nilai. Kini, tergantung masyarakat, sebagai “pembaca teks” harus pintar-pintar memilah tayangan nantinya. Kabar baiknya, masyarakat bebas untuk itu. ***

Posting Komentar untuk "Hareem; Perwajahan Opera Soap Indonesia"