Balada Waitbod II
Dalam dunia berkirim pesan, white board jadi elemen dalam rentetan arus pesan. Fungsi penghantar ini sama dengan hp, televisi, koran,radio, dan sahabatnya yang lain.
Sebagai penyempurnaan dari papan tulis kapur, ia berdiri kokoh dalam kecanggihannya. Tak perlu penghapus, jadi tak usah susah2 menampar2nya ke dinding agar menghitamkannya lagi, tak guna lagi kapur tulis, sebab spidol lebih bersih tangan, paling tidak tak ada murid yang kena lemparan spidol.
Dalam bentuk purba, ketika bebatuan masih berlaku di dunia fosil, terus beranjak naik ke papan tulis kapur untuk ruang-ruang sekolah, media tulis ini mem_publik_kan dirinya dalam panggung peradaban. Ketika ia lalu menjadi aksesoris di ruang-ruang kantor. Itu sebelum era OHP, dan proyektor menggerusnya, melangkahi kegagahannya, menanggalkan ia dari bidang kosong di ruang-ruang publik.
Lalu kita tak perlu bertanya ada apa?, juga mengapa?, sebab sebagai produk budaya, ia dinamis tak statis. Tak kena hukum keabadian seperti halnya cinta. Di abad yang lalu cinta Shakespeare kepada kekasih masih berwujud hingga kini, berbunga-bunga dan berkembang…lalu terbang.
Agak susah sekarang menemukan whiteboard bin papan tulis…waktu telah menghapusnya dari realitas, sehingga yang tampak nanti hanya kata, “White board dengan penjelas.” Kasusnya mirip dengan telegraf, yang sekali dua di perbincangkan dalam kaca mata bernostalgia.
Mengkinikan benda ibarat menaiki gunung kemajuan, pada tanjakan berikutnya pilihan harus menjatuhkan benda, bukankah beban yang ringan membuat ringan kaki?, pilih memilih perangkat masuk akal ketika wajah dialihkan ke depan, pada konsep akhir “KEMAJUAN”.
Sehingga sekali lagi, yang abadi hanyalah kemanusiaan, kemerdekaan, kebebasan, impian dan cinta. Apakah karena keabstrakannya?, atau kesukaran pemahaman yang bikin golongan kesadaran ini awet dalam isu-isu modernitas.
Memperbincangkan produk budaya seperti menelaah laman demi laman sejarah manusia. Produk tak awet, namun darinya sejarah manusia disibak. Diurai-urai lantas menjadi kumpulan pengetahuan atau tunjuk ajar keduniaan. (Continued)
Sebagai penyempurnaan dari papan tulis kapur, ia berdiri kokoh dalam kecanggihannya. Tak perlu penghapus, jadi tak usah susah2 menampar2nya ke dinding agar menghitamkannya lagi, tak guna lagi kapur tulis, sebab spidol lebih bersih tangan, paling tidak tak ada murid yang kena lemparan spidol.
Dalam bentuk purba, ketika bebatuan masih berlaku di dunia fosil, terus beranjak naik ke papan tulis kapur untuk ruang-ruang sekolah, media tulis ini mem_publik_kan dirinya dalam panggung peradaban. Ketika ia lalu menjadi aksesoris di ruang-ruang kantor. Itu sebelum era OHP, dan proyektor menggerusnya, melangkahi kegagahannya, menanggalkan ia dari bidang kosong di ruang-ruang publik.
Lalu kita tak perlu bertanya ada apa?, juga mengapa?, sebab sebagai produk budaya, ia dinamis tak statis. Tak kena hukum keabadian seperti halnya cinta. Di abad yang lalu cinta Shakespeare kepada kekasih masih berwujud hingga kini, berbunga-bunga dan berkembang…lalu terbang.
Agak susah sekarang menemukan whiteboard bin papan tulis…waktu telah menghapusnya dari realitas, sehingga yang tampak nanti hanya kata, “White board dengan penjelas.” Kasusnya mirip dengan telegraf, yang sekali dua di perbincangkan dalam kaca mata bernostalgia.
Mengkinikan benda ibarat menaiki gunung kemajuan, pada tanjakan berikutnya pilihan harus menjatuhkan benda, bukankah beban yang ringan membuat ringan kaki?, pilih memilih perangkat masuk akal ketika wajah dialihkan ke depan, pada konsep akhir “KEMAJUAN”.
Sehingga sekali lagi, yang abadi hanyalah kemanusiaan, kemerdekaan, kebebasan, impian dan cinta. Apakah karena keabstrakannya?, atau kesukaran pemahaman yang bikin golongan kesadaran ini awet dalam isu-isu modernitas.
Memperbincangkan produk budaya seperti menelaah laman demi laman sejarah manusia. Produk tak awet, namun darinya sejarah manusia disibak. Diurai-urai lantas menjadi kumpulan pengetahuan atau tunjuk ajar keduniaan. (Continued)
1 komentar untuk "Balada Waitbod II"